NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

AS Khawatir TikTok Jadi Soft Power China, Bukan Sekadar Isu Data

TikTok soft power China

Amerika Serikat kembali menunda pemblokiran TikTok hingga 16 Desember 2025. Pemerintah Washington menekankan alasan keamanan nasional, namun sejumlah pejabat menyebut ancaman sesungguhnya muncul dari potensi soft power China yang memengaruhi opini publik, budaya, dan politik di negeri tersebut.

Kekhawatiran Washington terhadap TikTok

WASHINGTON, NU MEDIA JATI AGUNG, – Penundaan pemblokiran TikTok di Amerika Serikat menegaskan tarik ulur panjang antara Washington dan Beijing. Pemerintah AS memang selalu menyinggung soal keamanan data, namun mereka kini menyoroti ancaman lain.

Menteri Keuangan AS Scott Bessent menekankan, TikTok lebih dari sekadar aplikasi hiburan.

“Mereka tertarik dengan karakteristik China dari aplikasi tersebut, yang mereka anggap sebagai soft power. Kami tidak peduli dengan karakteristik China. Kami peduli dengan keamanan nasional,” ujarnya.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah Washington melihat TikTok sebagai instrumen geopolitik. Oleh karena itu, mereka tidak hanya menyoroti isu data dan potensi spionase, melainkan juga dampak ideologis yang melekat pada aplikasi itu.

TikTok sebagai Instrumen Geopolitik

Dengan ratusan juta pengguna di Amerika Serikat, TikTok berkembang menjadi platform yang sangat berpengaruh. Selain itu, aplikasi berbagi video pendek itu membentuk tren budaya, gaya hidup, bahkan pandangan politik generasi muda.

Oleh karena itu, pejabat Gedung Putih menilai keberadaan TikTok bisa menjadi alat strategis China. Mereka menganggap platform ini mampu menyusupkan narasi yang menguntungkan Beijing.

Di sisi lain, para analis hubungan internasional menilai kekuatan TikTok tidak hanya terletak pada teknologi. Justru, daya tarik budaya dan jangkauan globalnya yang sangat luas menjadikannya sarana soft power yang efektif.

Sejarah Regulasi dan Perdebatan

Sejak 2024, Kongres AS yang dikuasai Partai Republik sudah mengesahkan undang-undang. Regulasi itu mewajibkan TikTok melepaskan keterikatan dengan perusahaan induknya di China, ByteDance.

Namun, proses divestasi tidak berjalan mulus. ByteDance menolak menjual sahamnya sepenuhnya, sementara pemerintah China juga menegaskan larangan ekspor algoritma kecerdasan buatan yang menjadi inti TikTok.

Karena itu, perdebatan semakin sengit. Di satu sisi, Washington menuntut pemisahan kepemilikan. Di sisi lain, Beijing menolak tekanan tersebut karena menganggapnya sebagai bentuk intervensi politik.

Dampak bagi Generasi Muda Amerika

Generasi muda Amerika menjadi kelompok yang paling aktif menggunakan TikTok. Akibatnya, pemerintah Washington semakin khawatir.

Selain itu, mereka menilai konten di TikTok bisa memengaruhi pola pikir anak muda terhadap isu internasional. Misalnya, dalam konflik geopolitik, arus informasi yang tersebar melalui TikTok berpotensi membentuk opini publik yang sejalan dengan kepentingan China.

Dengan demikian, perdebatan tentang TikTok tidak hanya menyangkut privasi data. Sebaliknya, isu ini juga berkaitan dengan masa depan ideologi dan kedaulatan informasi di Amerika Serikat.

Posisi TikTok di Tengah Perang Dingin Baru

Para pengamat menilai ketegangan antara Amerika Serikat dan China sudah menyerupai perang dingin baru. Namun, kali ini arena persaingan bergeser ke ruang digital.

Jika pada abad ke-20 perebutan pengaruh berlangsung lewat senjata dan ideologi, maka abad ke-21 memperlihatkan dominasi teknologi dan media sosial. Karena itu, TikTok muncul sebagai simbol kekuatan baru.

Selanjutnya, AS memandang platform ini bukan hanya soal bisnis. Mereka melihatnya sebagai senjata budaya yang dapat mengubah keseimbangan geopolitik.

Tantangan Hukum dan Politik

Meski Kongres telah mengesahkan aturan divestasi, penerapannya menghadapi hambatan hukum. Pengadilan harus meninjau ulang apakah undang-undang tersebut melanggar prinsip kebebasan berpendapat.

Sementara itu, kelompok pro-demokrasi menegaskan perlunya kehati-hatian. Mereka menilai pembatasan TikTok bisa dianggap bentuk sensor, padahal Amerika Serikat menjunjung tinggi kebebasan berbicara.

Namun, pemerintah tetap bersikeras. Menurut mereka, keamanan nasional lebih penting daripada kebebasan yang berpotensi dimanfaatkan pihak asing.

Reaksi Publik dan Masa Depan TikTok

Publik Amerika terbelah menghadapi isu TikTok. Sebagian pengguna muda menolak pemblokiran karena mereka menganggap aplikasi itu sebagai sarana kreativitas dan ekspresi.

Namun, di sisi lain, kelompok konservatif mendukung langkah pemerintah. Mereka berpendapat pemblokiran TikTok menjadi cara terbaik melindungi negara dari intervensi asing.

Pada akhirnya, masa depan TikTok di Amerika Serikat akan ditentukan oleh keseimbangan antara kepentingan politik, keamanan nasional, dan kebebasan digital. Oleh karena itu, perdebatan tentang aplikasi ini diperkirakan terus berlanjut hingga keputusan final keluar.