Tokoh film nasional Djamaluddin Malik wafat pada 8 Juni 1970. Sosok asal Padang ini dikenal sebagai pejuang seni sekaligus penggerak perfilman Indonesia yang bernaung di Nahdlatul Ulama (NU). Kepergiannya meninggalkan duka mendalam sekaligus jejak besar dalam sejarah budaya bangsa.
Wafatnya Djamaluddin Malik di Munchen
Sakit dan Perawatan Medis
NU MEDIA JATI AGUNG, – Tokoh film nasional Djamaluddin Malik wafat pada 8 Juni 1970. Bangsa Indonesia merasakan kehilangan besar. Sebelum wafat, ia mengalami komplikasi penyakit dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta.
Tim dokter menyarankan agar ia berobat ke Munchen, Jerman Barat. Keluarganya yang mendampingi adalah Zainal Malik, Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Namun, Allah memanggilnya di kota itu.
Pemakaman di Jakarta
Keluarga membawa jenazah Djamaluddin ke Jakarta. Prosesi pemakaman berlangsung di Pekuburan Karet. Tokoh NU asal Padang ini meninggalkan warisan besar dalam sejarah perfilman nasional.
Keterikatan dengan Nahdlatul Ulama
Pertemuan dengan KH Wachid Hasyim
Djamaluddin memiliki kedekatan dengan NU. Ia pernah menyampaikan kepada KH. Wachid Hasyim:
“Tadinya anak buah saya bermaksud, jika sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri. Lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada yang di Hizbullah (pimpinan KH. Zainul Arifin), ada yang barisan pemberontakan rakyat (Pimpinan Bung Tomo) dan sebagainya.”
Ungkapan itu tercatat dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri. Pada saat percakapan terjadi, KH Fattah Yasin juga hadir.
Situasi Politik Pasca Renville
Menurut Kiai Saifuddin, pertemuan itu berlangsung di Yogyakarta saat ibu kota dipindahkan dari Jakarta (1946–1949). Saat itu Republik Indonesia mengalami masa sulit akibat Perjanjian Renville pada 1947 yang membuat wilayah Indonesia menyempit dan menyebabkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin.
Perjuangan di Dunia Seni dan Teater
Mendirikan Teater Panca Warna
Djamaluddin Malik lahir di Padang pada 3 Februari 1917. Sejak muda, ia menaruh minat pada seni pertunjukan. Pada 1942, ia mendirikan kelompok teater Panca Warna. Kelompok ini berkeliling hampir ke seluruh kota besar di Indonesia, bahkan ke Sulawesi dan Kalimantan. Tujuannya membangkitkan semangat juang dan cinta tanah air.
Pandangan KH Wachid Hasyim tentang Seni
Meski aktif di teater, Djamaluddin merasa perjuangannya belum cukup. Ia sempat berniat meninggalkan panggung dan bergabung dengan kelaskaran. Namun, KH Wachid Hasyim menolak rencana itu. Menurutnya, seni juga merupakan bagian penting dari perjuangan.
Wachid Hasyim menilai kelompok sandiwara bisa menjadi ruang berkumpul rakyat dan media infiltrasi laskar. Pandangan itu diterima Djamaluddin. Ia pun mantap berjuang melalui seni hingga akhir hayat.
Kiprah di Perfilman Nasional
Bergabung dengan Lesbumi
Setelah KH Wachid Hasyim wafat pada 1953, Djamaluddin terus menekuni seni dan budaya. Pada 1962, bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani, ia mendirikan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) di bawah naungan NU.
Mendirikan Persari dan Produksi Film
Djamaluddin mendirikan perusahaan film Persari yang menghasilkan 59 judul film. Sementara Usmar Ismail mendirikan Perfini dan diakui sebagai Bapak Film Indonesia. Asrul Sani sendiri dikenal sebagai sastrawan sekaligus sutradara besar.
Pengabdian dan Penghargaan
Aktivitas di NU
Selain di bidang seni, Djamaluddin aktif dalam organisasi NU. Ia pernah bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor cabang Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Pada 1956–1959, ia menjabat sebagai Ketua III PBNU di bawah kepemimpinan KH Idham Khalid.
Gelar Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Djamaluddin Malik pada 1973. Ia juga menerima penghargaan Bintang Mahaputra Kelas II/Adipradhana sebagai bentuk apresiasi negara terhadap dedikasinya.