Tokoh perempuan NU ini tercatat sebagai sosok aktivis tangguh yang berperan besar di organisasi Fatayat NU maupun Muslimat NU. Perjuangannya melintasi Solo hingga Jember, meninggalkan jejak penting dalam sejarah NU.
Peran Nyai Nihayah dalam Kiprah Kiai Achmad Siddiq
NU MEDIA JATI AGUNG ,– Tokoh Nyai Nihayah Achmad Siddiq, ketua Fatayat NU di dua cabang, dikenal sebagai sosok perempuan tangguh yang mendampingi perjuangan suaminya, KH Achmad Siddiq.
Dalam sejarah perjalanan NU, keberadaan Nyai Nihayah menjadi bagian penting yang turut memberi warna pada kiprah sang kiai, terutama ketika beliau menjabat Rais Aam PBNU 1984–1991.
Ungkapan “di balik pria sukses ada wanita hebat” tepat disematkan kepada Nyai Hj Nihayah. Ia bukan hanya istri, melainkan juga penggerak dan motivator yang berjuang di jalan organisasi sejak muda.
Latar Belakang Keluarga
Nyai Nihayah merupakan adik kandung dari Nyai Hj Sholihah, istri pertama KH Achmad Siddiq. Keduanya adalah putri KH Mujib Tulungagung. Pada 1947, KH Achmad Siddiq menikah dengan Sholihah dan dikaruniai lima anak. Namun, takdir berkata lain, Sholihah wafat saat anak-anaknya masih kecil.
Atas saran keluarga dan para kiai, KH Achmad Siddiq kemudian menikah dengan Nihayah. Saat itu, ia masih menempuh pendidikan di Muallimat Atas dan Sekolah Guru Agama (PGA) Kota Solo.
Kiprah di Organisasi Fatayat NU
Di Solo, Nihayah aktif di organisasi Fatayat NU dan pernah menjabat sebagai ketua cabang. Ia juga menjadi salah satu penggagas lahirnya Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU). Dalam catatan buku Sejarah Perjalanan IPPNU 1955–2000, dijelaskan bahwa Nihayah bersama rekan-rekannya mendiskusikan pentingnya wadah pelajar putri NU.
Bersama Ketua IPNU Surakarta H. Mustahal Ahmad, ia mendorong berdirinya IPNU Putri. Hasilnya, pada pertemuan 28 Februari–5 Maret 1955 di Malang, IPNU Putri resmi berdiri. Dari pertemuan itu terpilih Umroh Mahfudzoh dari Solo sebagai ketua pertama.
Memasuki Babak Baru di Jember
Setelah menikah dengan KH Achmad Siddiq, Nihayah mengikuti suami ke Jember. Di sana, ia menjalani peran sebagai istri, ibu, sekaligus pendamping perjuangan suami yang aktif di NU, politik, dan pemerintahan.
Pasangan ini dikaruniai delapan anak, sementara dari istri pertama, KH Achmad Siddiq memiliki lima anak. Kehidupan keluarga besar tersebut menggambarkan ketangguhan Nihayah dalam mengasuh anak, mendampingi suami, dan mengelola pesantren PPI Ashtra.
Pejuang dan Pengasuh Keluarga
Pada 1991, KH Achmad Siddiq wafat. Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan putranya, KH Moh. Balya Firjoun Barlaman (Gus Firjoun). Meski berfokus pada keluarga, Nyai Nihayah tetap melanjutkan kiprahnya di organisasi.
Salah satu menantu menceritakan bahwa putri-putri KH Achmad Siddiq sempat menimba ilmu di Solo, termasuk Ning Asni Furaidah yang belajar langsung kepada KH Umar Mangkuyudan hingga menjadi hafidhoh.
Kiprah di Fatayat dan Muslimat NU
Aktivisme sejak remaja berlanjut ketika ia bergabung dengan Fatayat NU Jember dan Muslimat NU Jember. Ia tercatat sebagai ketua Fatayat NU di dua cabang, yakni Solo dan Jember. Di Jember, ia menjabat ketua Fatayat NU selama tiga periode serta ketua Muslimat NU empat periode berturut-turut.
Selain itu, ia pernah menjadi anggota DPRD Jember di era reformasi. Menurut catatan Majalah AULA, kepemimpinan Nihayah memberi kontribusi nyata, termasuk dalam bidang sosial dan kesehatan.
Pendirian Rumah Sakit Bersalin Muslimat NU
Bersama jajaran Muslimat NU Jember, Nihayah mendirikan Rumah Sakit Bersalin Muslimat NU (RSBI) Muna Parahita di Jalan Imam Bonjol, Kaliwates, Jember. KH As’ad Syamsul Arifin bersama KH Achmad Siddiq meletakkan batu pertama pembangunan rumah sakit tersebut.
Kiai As’ad berpesan agar rumah sakit dikelola dengan baik dan transparan. Seiring waktu, rumah sakit itu berubah menjadi klinik. Meski demikian, Ketua PC Muslimat NU Jember, Nyai Hj Emi Kusminarni, pada Januari 2020 menegaskan harapannya agar Muna Parahita kembali berfungsi sebagai rumah sakit besar NU.
“Harapan kami ke depan, Klinik Muna Parahita dapat melayani masyarakat dengan baik. Saya bermimpi kelak Muna Parahita menjadi Rumah Sakit Islam NU yang besar,” kata Emi.
Wafatnya Nyai Nihayah
Pada 10 Januari 2019, Nyai Hj Nihayah wafat dalam usia 84 tahun. Keluarga memakamkannya keesokan harinya di kompleks pemakaman Pondok Pesantren Al-Ghofilin Talangsari, Jember.
Kehidupan panjang Nyai Nihayah menunjukkan teladan perempuan NU yang gigih berorganisasi, mendampingi suami, membesarkan anak-anak, serta memberi kontribusi nyata bagi pendidikan, kesehatan, dan dakwah.