
Cerdas, berbudi luhur, berlimpah harta namun tetap sederhana pada dirinya sendiri, dermawan pada orang lain, dan luar biasa ibadahnya. Ketika membayangkan sifat-sifat mulia tersebut terkumpul pada satu orang, rasanya seperti sedang menghadirkan sosok karakter utama dalam sebuah dongeng. Namun tentunya tulisan ini bukan hendak menceritakan dongeng, ini adalah kisah hidup seorang laki-laki yang hidup sekitar tujuh abad silam. Dia adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Kelahiran
Namanya adalah Ahmad bin Ali Al-‘Asqalani atau lebih populer dengan Ibnu Hajar Al-Kinani Al-Asqalani. Hajar sendiri adalah julukan salah satu kakeknya. Ia lahir di daerah pinggiran sungai Nil, Mesir, pada 22 Sya’ban 773 H. Nisbat Al-Kinani merujuk pada suatu kabilah, yaitu suku Kinan, yang berasal dari ‘Asqalan, Palestina.
Ibnu Hajar lahir dalam keluarga yang sarat dengan keilmuan dan kesalehan. Ayahnya adalah ulama ahli fiqih, bahasa, dan sastra Arab, yang memiliki rasa ta’dzim dan cinta yang tinggi pada para ulama dan orang-orang saleh. Ia merupakan salah satu murid dari muhaddits besar, Al-Imam Ibnu Sayyidin Nas, pengarang kitab sirah dan syama’il nabawiyyah berjudul ‘Uyunul Atsar. Ayahnya meninggal pada 23 Rajab 777 H, sedangkan ibunya meninggal lebih dulu.
(Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1999], hlm. 103–108).
Masa Kecil
Sebelum wafat, ayahnya berwasiat kepada salah satu pedagang besar bernama Abu Bakr Al-Kharubi agar mengasuh Ibnu Hajar yang saat itu belum genap berusia empat tahun. Ayahnya juga menitipkan harta warisan pada Al-Kharubi untuk membiayai hidup dan pendidikannya. Al-Kharubi tidak jarang juga mengeluarkan hartanya sendiri untuk kepentingan Ibnu Hajar.
Ia memasukkannya ke dalam maktab (semacam sekolah anak-anak) saat Ibnu Hajar berusia lima tahun. Di sana, Ibnu Hajar menghafal Al-Qur’an dan menyelesaikan hafalannya saat berusia sembilan tahun pada Shadruddin Muhammad As-Safthi, seorang ulama fiqih Syafi’i.
(‘Abdus Sattar, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Amirul Mu’minin fil Hadits [Damaskus: Darul Qalam, 1996], hlm. 67).
Tahun 784 H, Al-Kharubi mengajaknya berhaji ke Makkah. Di sana, Ibnu Hajar mengikuti majelis pembacaan Shahih Bukhari yang diasuh Syekh ‘Afifuddin Muhammad An-Nawyawiri Al-Makki. Ia juga belajar pada Al-Hafizh Jamaluddin Ibnu Zhahirah Al-Makki.
(As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar, hlm. 122).
Setelah Al-Kharubi wafat tahun 787 H (Ibnu Hajar saat itu berusia 14 tahun), semangat belajar Ibnu Hajar sempat menurun, tetapi ia tetap mempelajari dasar-dasar ilmu seperti ushul, furu’, bahasa, dan lain-lain. Semangatnya kembali menggelora saat ia berusia 17 tahun.
(‘Abdus Sattar, hlm. 70).
Guru-Guru
Ibnu Hajar awalnya mempelajari ilmu sejarah, lalu sastra Arab pada 792 H, dan hadits mulai 793 H. Ia belajar hadits selama 10 tahun pada Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi, gurunya yang sangat mencintainya. Ia juga mempelajari fiqih pada Muhammad bin ‘Ali Ibnul Qaththan, Burhanuddin Al-Abnasi, Sirajuddin Ibnul Mulaqqin, dan Sirajuddin Al-Bulqini, yang pertama kali memberinya izin berfatwa.
(As-Sakhawi, hlm. 126–156).
Ia juga berguru pada Al-Imam ‘Izzuddin Ibnu Jama’ah yang sangat menghormatinya. Dikisahkan oleh Ibnu Hajar sendiri:
“Imam ‘Izzuddin Ibnu Jama’ah sangat menyayangiku, beliau memuji kecerdasanku saat aku tidak ada, meskipun aku sangat mengagungkannya, tapi beliau menjaga adab denganku.”
(Ibnu Hajar, Inba’ul Ghamri, Juz III, hlm. 116).
Hidup Sederhana
Ibnu Hajar pernah menjabat sebagai mufti, qadhi, khatib, mudarris, hingga imla’ hadits. Namun ia tetap hidup sederhana, bahkan tidak memakai uang gajinya sendiri. Soal makanan dan pakaian pun ia lebih memilih yang sederhana. Ia dikenal sabar, wira’i, dan dermawan, gemar bersedekah kepada siapa pun terutama di bulan Ramadhan dan hari raya.
(‘Abdus Sattar, hlm. 49, 53, 59).
Kesaksian Para Ulama
Ibnu Hajar dikenal sebagai ulama yang menguasai fiqih, tafsir, hadits, bahasa, sastra, dan sejarah.
(‘Abdus Sattar, hlm. 149–252).
Ibnul Mulaqqin mengonfirmasi gelar Al-Hafizh padanya. Al-Bulqini menyebutnya:
الحافظ المحدث المتقن المحقق
“Seorang Hafizh, ahli hadits, kokoh ilmunya, ahli tahqiq.”
Suatu kali, Ibnu Hajar mampu menjawab pertanyaan sulit dari gurunya tentang seorang rawi bernama Tamtam, menunjukkan kedalaman hafalannya. Putra Al-Bulqini pun berkata:
“Sudahlah, dia ini Hafizh, ayah tidak perlu mengujinya lagi.”
Zainuddin Al-‘Iraqi menyebutnya:
الحافظ الفقيه المحدث الفاضل البارع المفيد
“Seorang hafizh hadits, ahli fiqih dan hadits, berbudi luhur, cerdas, banyak memberi faidah.”
(As-Sakhawi, hlm. 263–267).
Murid-Murid dan Wafat
Ibnu Hajar memiliki banyak murid hebat, antara lain:
- Al-Hafizh As-Sakhawi
- Al-Hafizh Al-Biqa’i
- Zakariyyah Al-Anshari
- Al-Kamal Ibnul Humam
Ibnu Hajar wafat pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah 852 H di Kairo setelah sakit sejak Dzulqa’dah. Ia meninggalkan karya besar, murid-murid luar biasa, dan teladan kehidupan yang menginspirasi umat Islam.
Penutup
Demikian biografi singkat Al-Hafizh Ibn Hajar. Kisah hidup beliau sangat patut diteladani, tumbuh sebagai yatim-piatu, lalu di usia matang menjadi orang yang dihormati seluruh kalangan. Semua itu, selain berkat faktor-faktor pendukung, juga karena ketekunan dan semangat yang senantiasa terpelihara.
Wallahu a’lam.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan