NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

KH Ali Manshur Shiddiq, Pencipta Shalawat Badar, Sang Juru Bicara Konstituante

KH Ali Manshur Shiddiq

Pencipta Shalawat Badar, KH Ali Manshur Shiddiq, mendapatkan anugerah Bintang Budaya Parama Dharma. Penghargaan tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (14/8/2024) lalu. Penghargaan tersebut diterima oleh perwakilan ahli waris keluarga, yakni dua putra KH Ali Manshur, KH Ahmad Syakir Ali dan Gus Saiful Islam Ali.

Raden Muchamad (RM) Ali Mansur lahir di Talangsari, Jember, Jawa Timur pada 13 Maret 1921, sesuai data pada daftar keanggotaan Badan Konstitusi Republik Indonesia (RI). Sementara dalam buku Perjalanan NU Tuban dari Masa ke Masa (Mundzir dan Nurcholis, 2014: 422), kelahirannya disebut 23 Maret 1921 atau 4 Ramadhan 1340 H. Nama kecilnya adalah Ali Erkham, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ali Manshur, mengambil nama sang ayah. Sumber lain menyebutkan perubahan nama dilakukan setelah ia menunaikan haji.

Ali merupakan anak keempat dari pasangan Kiai Manshur bin KH Muhammad Shiddiq Jember dan Nyai Shofiyah binti KH Basyar Makam Agung Tuban. Kiai Manshur menikah dua kali. Istri pertamanya, Nyai Aminah, wafat tanpa keturunan. Dari pernikahan dengan istri kedua, Nyai Shofiyah, lahirlah empat anak: Sofanah, Zulaikho, Rahmah, dan Ali. Dua di antaranya, Zulaikho dan Rahmah, wafat saat kecil.

Ali dibesarkan di Tuban. Saat kecil, ia bersekolah di Madrasah Salafiyah di Makam Agung Tuban, sambil membantu ibunya berjualan pisang goreng. Saat kelas lima, ia berhenti membantu berjualan karena diminta pamannya, KH Murtadho, untuk mengajar di sekolahnya.

Pendidikan dan Kiprah Awal

Pada usia 11 tahun, Ali melanjutkan pendidikan di Pesantren Tremas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyati. Ia juga pernah belajar di Pesantren Al Hidayah Lasem, Langitan Widang Tuban, Tebuireng Jombang, dan Lirboyo Kediri. Di Lirboyo, bakatnya dalam sastra kian menonjol. Ia mahir membuat syair dan dikenal paling cepat melagukan nadhoman dengan intonasi yang tepat.

Sejak 1939, Kiai Ali sudah aktif di Nahdlatul Ulama (NU).

Pengabdian dan Perjuangan

Sekitar 1945, setelah menyelesaikan pendidikannya, Kiai Ali mengajar di Madrasah Salafiyah Tuban. Saat masa revolusi, ia turut serta di medan perang bersama Laskar Hizbullah Batalyon III Tuban, menjabat Kepala Staf Umum Barisan Sabil dan Komandan DPM Instruksi Pertahanan Rakyat. Ia juga menjadi anggota DPRDS Kabupaten Tuban.

Pada 1950, ia ditugaskan sebagai Klerk Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Besuki. Lalu diangkat menjadi Kepala KUA Kabupaten Sumba, kemudian menjadi Kepala Bagian Politik dan Aliran Agama di Kantor Agama Provinsi Nusa Tenggara. Ia juga menjadi Konsul NU di wilayah itu.

Tahun 1955, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante dari Partai NU Dapil XV (Bali dan Nusa Tenggara). Saat itu, ia berdomisili di Kampung Arab, Singaraja, Bali. Setelah pelantikan, ia mendapat nomor anggota 127.

Badan Konstituante bertugas menyusun UUD baru menggantikan UUDS 1950, namun dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Sang Juru Bicara Fraksi NU

Dalam susunan pengurus Fraksi NU di Konstituante (1958–1960), RM Ali Manshur menjabat Wakil Ketua II dan juru bicara bersama KH M Syukri. Ia dikenal fasih berpidato, dengan pandangan luas serta sering menyitir ulama atau filsuf.

Dalam sidang tentang Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Warga Negara, ia menyampaikan:

“…sebenarnja kita sebagai manusia, jang akan membahas lapangannja sendiri, jang akan memperoleh hak serta kewadjibannja sendiri, menganggap bahwa hal ini tidak dapat akan diperberat…”
(Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid VI, 1958: 3150)

Dalam sidang lain ia mengatakan:

“…Konstitusi baru jang mendjamin kepentingan umum itu harus lahir… Kami dari Fraksi Nahdlatul Ulama memandjatkan untuk doa mudah-mudahan dapat berhasil. Amien…”
(Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid V, 1958: 2399–2400)

Pencipta Shalawat Badar

Menurut KH Saifuddin Zuhri, pada 1960-an, NU menciptakan Shalawat Badar sebagai tandingan nyanyian Genjer-genjer dari PKI. Shalawat ini dimulai dengan bait:

Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah,
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah

Shalawat ini diciptakan oleh KH Ali Manshur saat tinggal di Banyuwangi, menjabat sebagai Kepala KUA dan Ketua PCNU Banyuwangi (1962–1965).

Putranya, KH Ahmad Syakir, menuturkan kisah penulisan shalawat ini dalam aksara pegon. Shalawat itu dibuat setelah pulang dari Makkah, dalam sebuah malam Lailatul Qira’ah, berdasarkan mimpi beberapa orang tetangga yang melihat kehadiran Nabi Muhammad saw.

Meski sempat tenggelam, Gus Dur mengonfirmasi keaslian karya itu sebagai karya “kiai Jawa”. Manuskrip dikumpulkan, dan ketika Gus Dur menjadi Presiden, Shalawat Badar diumumkan dalam Muktamar NU di Lirboyo. Kini, shalawat ini mendunia dan banyak dibaca di berbagai acara keislaman.

Akhir Hayat

KH Ali Manshur Shiddiq wafat pada 24 Maret 1971 di usia 50 tahun. Ia dimakamkan di Maibit Rengel, Tuban. Ia menikah dengan Nyai Siti Chotimah, dan dikaruniai anak-anak: Sholahudin, Ahmad Syakir, Abdullah Nashi, Muhammad Shiddiq, Siti Latifah, Badrul Jamal, dan Syaiful Islam.

Referensi:

  • Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid V & VI (Konstituante RI, 1958)
  • KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013)
  • Ahmad Mundzir dan Nurcholis, Perjalanan NU Tuban dari Masa ke Masa 1935–2013 (PCNU Tuban, 2014)
  • KH Ali Manshur dan Konstituante (Komunitas Pegon, 2021)
  • Profil Anggota R.M Ali Mansur (Konstituante.net)