KH Aceng Muhammad Ishaq, lebih dikenal dengan Ajengan Anom Fauzan atau Aceng Sasa, merupakan putra sulung dari Syaikhul Masyaikh Asy Syekh KH Aceng Muhammad Umar Bashri bin KH Muhammad Adzro’i bin KH Abdul Wahab bin KH Muhammad Arif bin Mbah Nuryayi. Ia lahir pada tahun 1918 M, meski tanggal dan bulannya tidak diketahui secara pasti.
Pada tahun yang sama, kakeknya KH Muhammad Adzro’i—murid dari Syekh Ibrohim Al-Bajuri, pengarang Kitab Masalah fil Aqoid al-Bajuri (dikenal sebagai Tijan ad-Daruri)—wafat pada usia 73 tahun.
Masa Pengembaraan Pendidikan di Pesantren
Aceng Sasa pertama kali belajar agama dari ayahnya sendiri, KH Aceng Muhammad Umar Bashri (Syaikhuna Fauzan), yang mendirikan Pesantren Pasirbokor, kemudian dinamai Pesantren Fauzan.
Namun, saat ia berusia 14 tahun, ayahnya wafat dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh pamannya, KH Haitami, adik dari ibunya Hj Fatmah binti KH Ahmad Hijazi.
Dalam usia muda, Aceng Sasa menemukan kitab nahwu karangan ayahnya yang belum selesai. Ia melanjutkan dan menyelesaikan kitab tersebut.
Selanjutnya, ia menimba ilmu ke:
- Pondok Pesantren Galumpit
- KH Ahmad Syatibi (Mama Gentur – Cianjur)
- Pesantren Pajaten Sirnarasa, Cirebon, asuhan KH Hasan Hariri (putra KH Muhammad Zen)
Pada usia 18 tahun, ia belum langsung memimpin pesantren. Ia lebih dulu mengunjungi kampung-kampung untuk merangkul masyarakat, terutama yang dekat dengan dunia kemaksiatan. Hal ini membuatnya dikenal dekat dengan para preman dan jawara.
Ketika akhirnya memimpin pesantren, anak-anak dari masyarakat yang pernah ia datangi banyak yang menjadi santri Fauzan.
Keluarga
Ia memiliki dua istri:
- Hj Jubaedah binti KH Harmaen (anak: KH Aceng Umar Ishaq dan Nyimas Jojoh)
- Hj Asiah (anak: Nyimas Kokoy)
Penakluk Jepang Tanpa Perang
Aceng Sasa dikenal sebagai ulama sekaligus pendekar silat, dihormati para jawara di Garut. Ia juga diplomat ulung. Saat penjajahan Belanda, ia menggagalkan beberapa rencana penyerangan Belanda melalui pendekatan strategis.
Pada masa penjajahan Jepang, ia berhasil membujuk pemerintah Jepang agar tidak mengganggu aktivitas pesantren. Dua prajurit Jepang bahkan masuk Islam dan menjadi santri Fauzan, lalu menjadi WNI dan tinggal di Bandung hingga wafat.
Perjuangan Pasca-Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Aceng Sasa mendirikan Perkumpulan Daf’oesial pada 5 Januari 1946 untuk menjaga NKRI. Menurut dokumen Dewan Pertimbangan Agoeng (DPA) tertanggal 5 September 1946, jumlah anggotanya mencapai 130.000 orang.
Pada 18 Agustus 1946, Aceng Sasa dan 20 santri berangkat ke Yogyakarta untuk menemui Presiden Ir. Soekarno, meminta pengesahan organisasi Daf’oesial. Bung Karno bahkan sempat menawarinya posisi Imam Besar (Menteri Pertahanan), namun ia menolak, lebih memilih mendidik santri dan masyarakat.
Sebagai bentuk kepercayaan, Bung Karno menitipkan satu kompi tentara untuk dididik di pesantren. Siang hari mereka mengaji, malam harinya melakukan gerilya melawan pemberontak.
Konflik dengan DI/TII
Sebelum NU hadir di Garut, Aceng Sasa pernah bergabung dengan Masyumi, tetapi keluar karena tidak sejalan dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Akibat perundingan Renville, wilayah RI dipersempit. Aceng Sasa dan pasukannya mengungsi ke Jawa Tengah. Pada masa itu, DI/TII pimpinan SM Kartosoewiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia.
Pada tahun 1949, kelompok DI/TII membantai tujuh santri Fauzan dan membakar pesantren. Banyak karya Syaikhuna Fauzan ikut terbakar.
Wafat
Aceng Sasa wafat pada Selasa, 24 Muharram 1369 H / 15 November 1949 M, dalam usia muda, 32 tahun. Ia dimakamkan di komplek pemakaman Kaum, belakang Masjid Agung Garut, bersama KH Moehammad Moesa.