NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

Jejak KH Ghazalie Masroeri, Ulama Falak NU yang Satukan Ilmu dan Iman

KH Ghazalie Masroeri

KH Ghazalie Masroeri dikenal sebagai ulama falak NU yang memadukan rukyat dan hisab. Beliau memperjuangkan keselarasan antara ilmu dan iman dalam penentuan awal bulan hijriah hingga akhir hayatnya pada 19 Februari 2020.

Perbedaan Metode NU dan Muhammadiyah

NU MEDIA JATI AGUNG, – Setiap memasuki Ramadhan dan Syawal, masyarakat Indonesia selalu menghadapi dua metode penentuan awal bulan. Nahdlatul Ulama berpegang pada rukyatul hilal, sementara Muhammadiyah tetap konsisten dengan hisab.

Namun, perbedaan mencolok muncul pada keputusan akhir. NU selalu mengutamakan rukyatul hilal melalui observasi langsung, meskipun tetap menggunakan hisab sebagai pendukung. Sebaliknya, Muhammadiyah mengambil keputusan hanya melalui metode hisab.

Selain itu, NU setiap tahun menerbitkan almanak hasil perhitungan hisab. KH Ahmad Ghazalie Masroeri, yang memimpin Lembaga Falakiyah NU sejak 1999 hingga wafat pada 19 Februari 2020, menegaskan bahwa hisab hanya bersifat prediktif. Karena itu, metode tersebut wajib mendapat penguatan dari rukyatul hilal.

“Kami di NU juga melakukan hisab, kami mempunyai data-data hasil hisab itu. Tapi hasil perhitungan ilmiah itu tetap harus diperkuat melalui pantauan langsung,” ujar Kiai Ghazalie Masroeri kepada NU Online saat sidang itsbat di Kementerian Agama RI, 15 Mei 2018.

Integrasi Ilmu, Fiqih, dan Teknologi

Pada kesempatan yang sama, Kiai Ghazalie menekankan pentingnya integrasi keilmuan. Menurutnya, penentuan awal bulan hijriah tidak hanya menyangkut astronomi, tetapi juga menyangkut agama. Oleh sebab itu, NU selalu melibatkan ahli astronomi, ahli hisab, dan ahli fiqih dalam setiap prosesnya.

“Teknologi yang dikembangkan kami ialah Nahdlatul Ulama Mobile Observatory atau NUMO di seluruh Indonesia dengan menggunakan peralatan yang sangat canggih dan modern,” jelas Kiai Gahzalie Masroeri.

NUMO hadir sebagai inovasi yang memadukan fiqih dan sains. Alat ini tidak hanya berfungsi untuk rukyatul hilal, tetapi juga observasi matahari, gerhana, serta pengukuran arah kiblat. Melalui NUMO, masyarakat dapat belajar langsung dari pakar falak NU. Sebaliknya, para pakar juga bisa berkeliling ke berbagai daerah untuk memperkenalkan astronomi.

Selain itu, kendaraan khusus NUMO dilengkapi dengan genset, komputer, teropong, GPS, hingga televisi. Dengan peralatan modern tersebut, NUMO mampu menghadirkan solusi atas perbedaan waktu dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Ketekunan yang Menginspirasi

Kiai Ghazalie terus memimpin rukyatul hilal meskipun kedua matanya tidak dapat melihat. Para santri maupun ulama lain enggan menggantikan perannya karena mereka memahami besarnya tanggung jawab di hadapan Allah dan umat.

Sebagian orang berpendapat bahwa matanya terganggu akibat ketekunannya menekuni hisab dan rukyat. Meski demikian, beliau tetap mampu memprediksi posisi hilal hingga bertahun-tahun ke depan. Dedikasi tersebut menjadikannya simbol keistiqamahan dalam menjaga tradisi ilmiah sekaligus religius NU.

Santri dan Perjalanan Ilmu

Sejak muda, Kiai Ghazalie menekuni ilmu falak dengan serius. Ia pernah nyantri bertahun-tahun kepada Kiai Turaichan, ahli falak kelas dunia asal Kudus, Jawa Tengah. Selain itu, ayah beliau juga berperan besar membentuk kecintaan pada ilmu falak.

Pada usia produktif, Kiai Ghazalie berhasil mengembangkan ilmu falak di ranah akademis. Ia turut melahirkan Jurusan Ilmu Falak di UIN Walisongo Semarang, kampus pertama yang membuka jurusan ini di Indonesia. Langkah tersebut membuka ruang baru bagi pengembangan sains Islam di tanah air.

Karier di Organisasi dan Politik

Perjalanan karier Kiai Ghazalie tidak berhenti pada dunia keilmuan. Pada 1973–1977, beliau duduk di DPR RI dari Partai NU. Selanjutnya, pada 1977–1982, ia kembali menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PPP.

Selain itu, sejak 1979 beliau aktif di PBNU. Ia pernah menjabat A’wan, Katib, sekaligus Ketua Lembaga Falakiyah PBNU. Bahkan, pada periode 1950-an hingga 1980-an, beliau aktif di IPNU, PMII, dan GP Ansor.

Tahun 2000, beliau juga tercatat sebagai anggota Komisi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun yang sama, ia bergabung dalam Tim Hisab Rukyat (THR) Kementerian Agama RI. Semua peran tersebut menunjukkan betapa luasnya kiprah beliau dalam bidang keilmuan, keagamaan, dan kebangsaan.

Riwayat Pendidikan

KH Ghazalie Masroeri lahir di Purwodadi, 21 April 1939. Ia menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Krapyak Yogyakarta selama enam tahun. Setelah itu, beliau melanjutkan ke Kuliyyatul Qadla Fakultas Hukum Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta angkatan 1958.

Pendidikan yang ditempuhnya menjadi bekal untuk memperdalam ilmu falak sekaligus ilmu hukum Islam. Dari sinilah lahir sosok ulama yang mampu menjembatani antara sains dan agama.

Akhir Hayat

Pada 19 Februari 2020, KH Ghazalie Masroeri wafat di Rumah Sakit Suyoto Bintaro, Jakarta, pukul 10.45 WIB. Jenazah beliau lebih dahulu dishalatkan di Masjid An-Nahdlah Gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta. Selanjutnya, keluarga memakamkan beliau di Purwodadi, kampung halamannya.

Kepergian Kiai Ghazalie meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam Indonesia. Warisan keilmuan, ketekunan, serta dedikasi beliau dalam memadukan ilmu falak dan fiqih akan terus hidup dalam tradisi Nahdlatul Ulama.