NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani: Ulama Besar Yatim Piatu

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani

Kehidupan Awal Imam Ibnu Hajar al-Asqalani

NU MEDIA JATI AGUNG, – Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dikenal sebagai ulama besar yang keilmuannya sangat luas dalam bidang hadits dan fiqih. Sejak kecil, ia tumbuh sebagai anak yatim piatu. Ayahnya wafat saat ia berusia empat tahun, sementara ibunya meninggal ketika ia masih bayi. Meskipun begitu, semangat belajarnya tidak pernah surut.

Ia lahir pada bulan Sya’ban tahun 773 H/1372 M di Asqalan, Palestina. Namun sebagian ulama menyebutkan ia lahir di Mesir. Meski ada perbedaan pandangan mengenai tempat kelahirannya, para ulama sepakat bahwa ia tumbuh besar dan wafat di Kairo, Mesir pada tahun 852 H/1449 M.

Asuhan dan Pendidikan Sejak Kecil

Tumbuh Sebagai Anak Yatim

Setelah kedua orang tuanya wafat, Imam Ibnu Hajar berada dalam asuhan Zakiuddin Abu Bakar al-Kharubi, seorang dermawan kaya raya. Al-Kharubi memenuhi seluruh kebutuhannya, terutama dalam bidang pendidikan. Sejak usia lima tahun, Ibnu Hajar sudah dimasukkan ke lembaga pendidikan dan mulai mempelajari Al-Qur’an.

Di bawah bimbingan Imam Muhammad bin Abdurrazaq as-Sifthi, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna pada usia sembilan tahun. Kecerdasannya membuat ia lebih cepat menguasai ilmu dibandingkan teman-temannya.

Perjalanan Haji dan Pencarian Ilmu

Pada usia sebelas tahun, Abu Bakar al-Kharubi membawanya ke Makkah untuk berhaji. Di sana, Ibnu Hajar tidak hanya menunaikan ibadah, tetapi juga belajar kepada para ulama. Ia rajin menghadiri majelis ilmu, berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain, siang maupun malam. Semangat belajar ini membuatnya cepat memahami dan menghafal berbagai ilmu.

Kembali ke Mesir dan Prestasi Intelektual

Setelah dua tahun di Makkah, ia kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Dalam waktu singkat, ia sudah menghafal banyak kitab penting seperti Umdatul Ahkam, Mukhtashar Ibnul Hajib, Milhatul A’rab, Alfiyah al-Iraqi, Alfiyah Ibnu Malik, hingga At-Tanbih.

Meski sudah menguasai banyak kitab sejak usia belia, ia tidak berhenti menuntut ilmu. Ia terus mengembara, mendatangi ulama di berbagai kota untuk memperluas wawasan keagamaannya.

Guru-Guru Imam Ibnu Hajar

Ibnu Hajar belajar kepada banyak ulama besar. Ia mendalami hadits dari Imam Abul Faraj Abdurrahman bin al-Mubarak al-Ghazi, Syekh Zainuddin al-Iraqi, dan sejumlah ulama lainnya. Dalam fiqih, ia berguru kepada Imam Syihab al-Khayuthi, sedangkan dalam bidang adab kepada al-Izz bin Jama’ah. Ia juga belajar kepada Afifuddin an-Naisaburi, Burhan at-Tanuki, Ibnu al-Mulaqqin, dan banyak lagi.

Dengan bimbingan para ulama hebat, keilmuan Ibnu Hajar semakin matang. Ia menjadi sosok yang sangat disegani, pendapatnya dijadikan rujukan dalam mazhab Syafi’i.

Menjadi Ulama Besar dan Produktif

Setelah puas menimba ilmu, Ibnu Hajar menjadi pengajar yang dicari banyak orang. Gelarnya beragam: al-Muhaddits (ahli hadits), al-Faqih (ahli fiqih), al-Mufassir (ahli tafsir), hingga Amirul Mu’minin fil Hadits.

Selain menjadi ulama besar, ia juga dikenal sebagai penulis produktif. Pada usia 23 tahun, ia mulai menulis kitab. Jumlah karyanya mencapai ratusan, di antaranya: Fathul Bari, Al-Isabah fi Tamyizis Sahabah, Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Mizan, Nuzhatul Albab, dan Ta’rifu Ahlit Taqdis.

Warisan Intelektual Imam Ibnu Hajar

Keilmuan dan karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani memberi pengaruh besar dalam perkembangan Islam, khususnya dalam mazhab Syafi’i. Semangatnya yang lahir dari perjuangan sebagai anak yatim piatu menjadi teladan bagi generasi setelahnya.