NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

Asrul Sani di Mata Dua Sastrawan Sunda

Asrul Sani di Mata Dua Sastrawan Sunda

Salah seorang tokoh NU yang jarang diketahui, tapi berperan besar dalam bidang kebudayaan adalah Asrul Sani. Ia lahir di Rao, Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926 dan wafat di Jakarta pada 11 Januari 2004. Bersama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia dikenal sebagai pelopor Angkatan 45, trio pembaharu puisi Indonesia. Ketiganya menerbitkan kumpulan sajak bersama berjudul Tiga Menguak Takdir (1950). Sajak-sajaknya pertama kali dimuat di majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia.

Pada tahun 1948, bersama Chairil, Asrul menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Lalu bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Rosihan Anwar, ia menjadi redaktur rubrik kebudayaan Gelanggang dalam majalah Siasat.

Pria yang merupakan pendiri Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi)—lembaga seni milik Nahdlatul Ulama—dan pernah menjadi ketuanya ini, juga menulis cerpen, kritik, esai, menerjemahkan puisi, menulis skenario film, serta menjadi sutradara film.

Kedekatan dengan Dua Sastrawan Sunda

Asrul Sani memiliki kedekatan dengan sejumlah sastrawan Indonesia, termasuk dua sastrawan asal Sunda, yaitu Ajip Rosidi dan Ramadhan KH. Ajip dikenal sebagai Begawan Sastra Indonesia, dan Ramadhan KH sebagai sastrawan serta penulis biografi beberapa tokoh terkenal Indonesia.

Ketiganya berperan dalam pendirian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Asrul dan Ajip bahkan pernah menjabat sebagai Ketua DKJ.

Ramah dan Kawan yang Mengasyikkan

Ajip bercerita bahwa sebelum bertemu langsung, ia sudah mendengar banyak tentang Asrul dari para seniman di Jakarta. Menurut mereka, Asrul dikenal angkuh, pesolek, selalu merasa pintar sendiri, dan enggan bergaul dengan kawan-kawan yang lebih muda. Hal ini berbeda dengan Rivai Apin yang dikenal ramah dan suka bergaul.

Namun, setelah bergaul lama, Ajip menemukan bahwa Asrul adalah orang yang ramah dan menyenangkan untuk diajak bicara. “Dia seorang yang cerdas sekali, yang cepat dapat menangkap situasi dan cepat pula memberikan jalan keluar kalau menghadapi kemelut,” tulis Ajip dalam esainya berjudul Asrul, Asrul… dalam buku Asrul Sani 70 Tahun: Penghargaan dan Penghormatan (1997:4).

Kemampuan Logika yang Kuat

Ajip, yang wafat pada 2020, menyatakan bahwa sejak 1954 mengenal Asrul, ia hanya sekali melihatnya marah. Asrul dianggap memiliki logika yang sangat kuat dan selalu menyikapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Ia sulit dikalahkan dalam perdebatan karena pikirannya jernih dan kalimatnya mengalir rapi.

Pada 1977, Panitia Festival Film Indonesia (FFI) meminta DKJ membentuk Dewan Juri. DKJ menunjuk Taufik Ismail, Salim Said, dan S. Sudjojono. Dewan Juri kemudian memutuskan bahwa tidak ada film yang layak mendapat penghargaan Film Terbaik. Keputusan ini mengundang kontroversi.

Panitia meminta keputusan ditinjau ulang. Setelah perdebatan panjang, juri bersedia mengubah keputusan. Namun, Asrul Sani yang datang kemudian dengan tegas menolak. Ia menyebut para juri sebagai “kambing congek” karena dianggap tidak konsisten. Akhirnya, semua pihak membenarkan logika Asrul, dan Dewan Juri tetap pada keputusan awal.

Pengalaman Ramadhan KH

Dalam buku Diantara Dua Arus: Biografi Ramadhan K.H (2013) oleh Ray Rizal, nama Asrul Sani kerap disebut. Saat SMA di Bogor, Ramadhan KH membuat majalah Serodja dan mengirim permintaan tulisan kepada Asrul yang kala itu kuliah di Kedokteran Hewan, Bogor. Ketika Asrul bersedia menulis, Ramadhan sangat gembira. Ia menganggap itu titik awal kepercayaan dirinya sebagai penulis.

“Dalam Mimbar Indonesia, HB Jassin memuji-muji Asrul Sani setinggi langit. Bahkan HB Jassin memberinya julukan The Coming Man,” ujar Ramadhan (2013:38).

Seniman Lengkap

Asrul dikenal sebagai seniman “lengkap”: esais brilian, penyair, penulis skenario, cerpenis, dan penerjemah andal. Karya-karyanya antara lain:

  • Tiga Menguak Takdir (1950)
  • Dari Suatu Masa Ke Suatu Masa (1972)
  • Mantera (1975)
  • Jenderal Naga Bonar (1988)

Karya terjemahannya meliputi:

  • Laut Membisu (Vercors)
  • Pangeran Muda (Antoine de Saint-Exupéry, bersama Nuraini)
  • Rumah Perawan, Keindahan dan Kepiluan (Kawabata Yasunari)
  • Villa des Roses (Willem Elschot)
  • Puteri Pulau (Maria Dermount)
  • Kuil Kencana (Yukio Mishima)
  • Pintu Tertutup (Jean-Paul Sartre)
  • Julius Caesar (William Shakespeare)
  • Sang Anak (Rabindranath Tagore)
  • Catatan Dari Bawah Tanah (Fyodor Dostoevsky)
  • Inspektur Jenderal (Nikolai Gogol)

Lawan Debat yang Seru

Ramadhan KH menyebut lawan debat paling seru dari Boejoeng Saleh (S.I. Poeradisastera) adalah Asrul Sani. Keduanya sering berdebat soal filsafat, termasuk Nietzsche. Dalam satu debat, Asrul mengatakan Boejoeng tertinggal bacaan karena baru membaca jilid ketiga, padahal sudah ada jilid keempat. Boejoeng pun diam dan segera pamit pulang.

Setelah Boejoeng pergi, Asrul tertawa, “Mana pula ada jilid keempat karangan Nietzsche. Itu cuma akal-akalanku saja. Ternyata dia percaya.”

(Diantara Dua Arus: Biografi Ramadhan K.H, 2013:120)