KH Abdul Wahab Chasbullah tampil sebagai tokoh sentral dalam sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama. Ia tidak hanya menggerakkan lahirnya NU, tetapi juga menyalakan semangat kemerdekaan lewat gagasan, organisasi, dan syair perjuangan.
Perjalanan Pendidikan KH Abdul Wahab Chasbullah
NU MEDIA JATI AGUNG, – KH Abdul Wahab Chasbullah lahir pada 31 Maret 1888 di Jombang. Ia pertama kali belajar kepada ayahnya, lalu melanjutkan ke pesantren Langitan, Mojosari, Tawangsari, Bangkalan, dan Tebuireng. Setelah itu, ia menuntut ilmu ke Tanah Suci Mekkah. Di sana, ia berguru kepada ulama besar seperti Syekh Mahfud Tremas, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Bakiq al-Jugjawi, Kiai Muhtarom Banyumas, Kiai Asy’ari Bawean, dan Syekh Said Al-Yamani.
Meski berada di negeri orang, Kiai Wahab tetap memperhatikan kondisi tanah air yang dijajah Belanda. Ia bahkan bergabung dengan Sarekat Islam saat masih belajar di Mekkah.
Membangun Gerakan Kebangkitan Nasional
Ketika pulang dari Mekkah, Kiai Wahab tidak langsung tinggal di Tambakberas. Ia memilih menetap di Surabaya, kota kosmopolitan tempat ia berinteraksi dengan berbagai kalangan. Dari pengalaman itu, ia melahirkan organisasi Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar.
Atas restu gurunya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab menginisiasi pertemuan kiai-kiai Ahlussunnah wal Jamaah. Pertemuan itu melahirkan Komite Hijaz yang memperjuangkan kebebasan bermazhab di tanah suci. Dari sinilah, ia bersama para ulama mendeklarasikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 dengan Hadratussyekh sebagai pemimpin tertinggi.
Perjuangan Kiai Wahab di Dalam dan Luar Negeri
Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU menegaskan bahwa berdirinya NU bukan hanya karena masalah mazhab di Arab Saudi, tetapi juga karena kondisi Indonesia yang dijajah Belanda. Kiai Wahab bahkan menegaskan bahwa tujuan berdirinya NU adalah untuk kemerdekaan Indonesia.
Ia membuktikan tekad itu melalui syair perjuangan yang ia tulis:
“Pusaka hati wahai tanah airku, cintamu dalam imanku. Jangan halangi nasibmu, bangkitlah hai bangsaku! Indonesia negeriku, engkau panji martabatku.”
Pada 1928, Kiai Wahab bersama Syekh Ghanaim Al-Mishry berangkat sebagai utusan Komite Hijaz. Dalam perjalanan, ia singgah di Singapura dan memanfaatkan waktunya untuk bertemu dengan ulama setempat. Ia berhasil meyakinkan mereka hingga lahirlah NU Cabang Singapura.
Konsolidasi dan Debat Intelektual
Kiai Wahab aktif membesarkan NU dengan berkeliling ke berbagai cabang. Ia memberikan pemahaman kepada para pengurus sekaligus menghadapi tantangan debat dari organisasi lain. Ia pernah berdebat dengan A. Hasan di Cirebon dan Bandung.
Ia juga selalu menghadiri muktamar NU di berbagai daerah. Ketika Hadratussyekh berhalangan hadir karena sakit, Kiai Wahablah yang mewakili.
Pemersatu Umat dan Peran Politik
Kiai Wahab tidak hanya fokus membesarkan NU. Ia juga menginisiasi persatuan organisasi Islam melalui Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama tokoh Muhammadiyah dan PSII. Pada masa Jepang, NU ikut serta dalam Masyumi. Saat masa kemerdekaan, Kiai Wahab yang menjabat Rais Aam membawa NU menjadi inisiator Liga Muslim Indonesia.
Akhir Perjuangan
Perjuangan panjang Kiai Wahab berakhir ketika ia wafat pada 1971, beberapa hari setelah menghadiri muktamar NU di Surabaya. Ia dimakamkan di sekitar Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Hingga kini, kiprah dan jasanya tetap hidup dalam sejarah NU dan bangsa Indonesia.