
Latar Belakang Gugatan UU Pers ke MK
JAKARTA, NU MEDIA JAYI AGUNG, – Sejak awal, Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi profesi jurnalis. Oleh karena itu, organisasi ini resmi mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyampaikan gugatan tersebut pada Selasa (19/8/2025) di Gedung MK, Jakarta Pusat. Dengan langkah ini, Iwakum berharap aparat penegak hukum berhenti menjerat jurnalis dengan pasal kabur yang sering menimbulkan kriminalisasi.
Selain itu, Ketua Iwakum, Irfan Kamil, menekankan bahwa wartawan harus bekerja tanpa rasa takut. Menurutnya, jurnalis tidak boleh menghadapi tekanan hukum yang membatasi kebebasan berekspresi. Karena itu, ia menolak kondisi ketika kriminalisasi terus menghantui kerja-kerja jurnalistik.
Lebih lanjut, Irfan menegaskan, “Wartawan tidak boleh bekerja dalam tekanan, wartawan tidak boleh bekerja dalam bayang-bayang kriminalisasi, wartawan harus dilindungi oleh hukum.” Dengan pernyataan itu, ia menutup kemungkinan adanya kompromi terhadap kebebasan pers.
Pasal 8 UU Pers Jadi Sorotan
Isi Pasal 8 UU Pers
Secara khusus, Iwakum menyoroti Pasal 8 UU Pers yang berbunyi:
“Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Pada titik ini, menurut Iwakum, bunyi pasal terlalu sederhana sehingga membuka ruang tafsir ganda. Akibatnya, aparat penegak hukum sering menafsirkan aturan sesuai kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, organisasi ini meminta Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali maksud dari perlindungan hukum tersebut.
Kritik terhadap Perlindungan yang Kabur
Sementara itu, kuasa hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menyatakan bahwa ketidakjelasan Pasal 8 menciptakan peluang kriminalisasi terhadap wartawan. Ia menilai aparat bisa dengan mudah memutarbalikkan tafsir pasal karena undang-undang hanya menyebut “jaminan perlindungan pemerintah dan masyarakat.”
Selain itu, Viktor juga menekankan, “Kalau kita bertanya perlindungan hukum seperti apa? Ternyata kalau kita lihat penjelasannya, perlindungan hukum itu berarti jaminan perlindungan pemerintah dan masyarakat. Itu maksudnya apa? Pemerintah dan masyarakat yang melindungi pers, atau sebaliknya? Penjelasan ini tidak jelas.” Dengan pernyataan itu, ia menegaskan urgensi perubahan pasal secara mendetail.
Argumentasi Hukum Iwakum
Batu Uji Konstitusionalitas
Di hadapan hakim MK, Iwakum menyampaikan tiga batu uji konstitusional yang mendasari gugatannya. Pertama, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia merupakan negara hukum. Kedua, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil. Ketiga, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang memberikan perlindungan terhadap diri, martabat, dan kehormatan setiap orang.
Dengan menyebut tiga pasal itu, Iwakum ingin menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi wartawan tidak sekadar kebutuhan profesi, melainkan kewajiban konstitusional negara. Oleh karena itu, mereka menuntut MK mengeluarkan putusan yang jelas.
Tujuan Gugatan
Secara lebih spesifik, Iwakum mengajukan gugatan untuk memastikan aparat penegak hukum tidak bisa memidanakan pekerjaan jurnalistik yang sesuai kode etik. Dengan demikian, jurnalis dapat menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa khawatir berhadapan dengan jerat hukum.
Oleh karena itu, Viktor menegaskan, “Ketika teman-teman wartawan bekerja sebagai wartawan, negara harus melindungi wartawan tersebut dari kriminalisasi. Jaminan perlindungan diri, kehormatan, dan martabat profesi harus negara tegakkan.”
Perlindungan Jurnalis di Era Reformasi
Kondisi Pers Pasca 1998
Sejak reformasi 1998, pers Indonesia menikmati kebebasan yang jauh lebih luas. Namun, kebebasan itu tidak selalu diikuti perlindungan hukum yang memadai. Oleh sebab itu, banyak kasus kriminalisasi tetap berulang. Mulai dari pelaporan pidana, pemanggilan polisi, hingga intimidasi di lapangan, wartawan masih sering menghadapi ancaman nyata.
Lebih jauh, banyak pihak menilai kondisi ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, reformasi membuka ruang bagi pers bebas. Di sisi lain, wartawan justru terus berhadapan dengan celah hukum yang melemahkan posisi mereka. Akibatnya, sebagian jurnalis merasa ragu ketika hendak mengungkap kasus besar yang menyangkut kepentingan politik atau bisnis.
Peran Dewan Pers
Dalam konteks ini, Dewan Pers sebenarnya sudah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa pers di luar jalur pidana. Akan tetapi, aparat penegak hukum maupun pelapor sering mengabaikan mekanisme tersebut. Karena itu, semakin banyak pihak mendesak agar pemerintah dan MK memperkuat peran Dewan Pers melalui regulasi yang jelas.
Selain itu, keberadaan pasal perlindungan yang tegas dalam UU Pers akan membantu memperkuat posisi Dewan Pers. Dengan adanya aturan jelas, aparat hukum tidak bisa lagi menafsirkan pasal seenaknya. Pada gilirannya, wartawan dapat bekerja dengan lebih tenang.
Reaksi Publik dan Polemik
Dukungan bagi Wartawan
Sebagian besar masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi profesi memberikan dukungan penuh terhadap langkah Iwakum. Mereka menilai jurnalis yang bekerja sesuai kode etik pantas mendapatkan perlindungan hukum. Oleh sebab itu, mereka menolak kriminalisasi hanya karena pemberitaan dianggap merugikan pihak tertentu.
Selain itu, dukungan publik juga muncul karena masyarakat memahami pentingnya pers bebas bagi demokrasi. Dengan kata lain, perlindungan terhadap wartawan secara langsung juga berarti perlindungan terhadap kepentingan rakyat.
Kritik dan Catatan Publik
Namun, meski dukungan mengalir deras, sebagian publik tetap memberikan catatan kritis. Mereka berpendapat tidak semua wartawan bekerja secara profesional. Bahkan, beberapa pembaca menilai sebagian tulisan wartawan provokatif dan menyinggung.
Sebagai contoh, seorang pembaca berkomentar:
“Wartawan njaluk enake dhewe, tulisan kadang-kadang gak ngenakno sing baca. Apa ancene akeh jenis wartawan? Nek iya berarti aku sing ora ngerti. Mohon dipersori. Merdeka!”
Komentar itu menggambarkan keresahan masyarakat terhadap kualitas sebagian produk jurnalistik. Akan tetapi, inti gugatan Iwakum tetap menekankan perlindungan hukum agar jurnalis dapat bekerja profesional tanpa rasa takut.
Harapan dari Putusan MK
Menjamin Kepastian Hukum
Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Iwakum, publik berharap muncul penafsiran resmi yang tegas mengenai perlindungan hukum terhadap wartawan. Dengan demikian, posisi jurnalis di lapangan akan semakin kuat. Lebih jauh, kriminalisasi terhadap karya jurnalistik bisa diminimalisasi.
Selain itu, putusan MK yang progresif akan memberi sinyal positif kepada seluruh aparat hukum. Dengan putusan itu, kepastian hukum bagi wartawan bukan hanya janji, melainkan fakta yang bisa ditegakkan.
Perlindungan Demokrasi
Akhirnya, perlindungan wartawan juga berarti perlindungan terhadap demokrasi. Sebab, pers bebas dan independen berdiri sebagai pilar utama negara hukum. Tanpa perlindungan, pers kehilangan daya kritis. Akibatnya, publik akan kesulitan memperoleh informasi yang jujur, akurat, dan seimbang.
Oleh karena itu, banyak pihak menantikan putusan MK sebagai momentum penting untuk memperkuat demokrasi Indonesia. Dengan demikian, wartawan dapat menjalankan tugasnya sebagai pengawas pemerintah dan penyampai informasi publik tanpa rasa takut.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh