Pemerintah Kota Bandar Lampung mengalokasikan Rp60 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung. Kebijakan ini menimbulkan kritik masyarakat karena dinilai tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak warga kota.
Wali Kota Eva Dwiana sebelumnya juga menggunakan dana daerah untuk lembaga vertikal. Pemkot pernah mengucurkan Rp50 miliar untuk fasilitas kesehatan Universitas Lampung (Unila). Selain itu, Rp75 miliar dialokasikan bagi rumah sakit Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan. Bahkan rumah dinas Kapolda Lampung ikut dibiayai APBD.
“Ini bukan duit pribadi wali kota. Ini uang rakyat Bandar Lampung, hasil pajak dan keringat warga. Tidak bisa seenaknya dipakai membantu institusi lain sementara masalah kota sendiri terbengkalai,” tulis penulis sekaligus aktivis kota, Juwendra Asdiansyah, dalam surat terbuka yang viral di media sosial.
Masalah Kota yang Terabaikan
BANDAR LAMPUNG, NU MEDIA JATI AGUNG, – Kondisi infrastruktur di Bandar Lampung masih memprihatinkan. Jalan rusak tersebar di banyak titik. Warga mengeluh karena akses transportasi terhambat, biaya perbaikan kendaraan meningkat, dan risiko kecelakaan semakin besar.
Banjir juga menjadi masalah serius setiap musim hujan. Drainase buruk, tata kota tidak terkelola dengan baik, serta pembangunan tanpa kajian lingkungan memperburuk genangan. Warga menilai pemerintah lebih fokus membangun citra politik dibanding menyelesaikan persoalan dasar.
Sektor pendidikan pun menambah daftar masalah. Pemerintah menggembar-gemborkan program “pendidikan gratis”, tetapi praktik di lapangan tidak sesuai. Orang tua siswa SMP negeri masih harus membayar iuran komite ratusan ribu rupiah per bulan. Kondisi ini membebani keluarga berpenghasilan rendah yang berharap pendidikan anak dapat lebih terjangkau.
Selain itu, kemacetan lalu lintas kian parah. Parkir liar merajalela di pusat kota, sementara penataan transportasi publik tidak kunjung berjalan. Pasar tradisional semakin kumuh dan tidak nyaman. Ruang terbuka hijau juga sangat terbatas, padahal kota membutuhkan area publik untuk kesehatan dan rekreasi warga.
Defisit dan Utang Daerah
Ironisnya, kebijakan hibah besar ini muncul di tengah keuangan Pemkot yang tidak sehat. Data resmi mencatat defisit Rp267 miliar dengan utang mencapai Rp276 miliar. Selama tiga tahun terakhir, Pemkot gagal menutup kekurangan pembiayaan. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya pengelolaan fiskal.
“Ini ibarat orang miskin berinvestasi, tapi sibuk justru membagi-bagikan uang ke orang kaya,” tulis Juwendra.
Kritik ini menggambarkan kekecewaan publik terhadap orientasi belanja daerah. Warga mempertanyakan alasan Pemkot terus menggelontorkan dana untuk proyek vertikal, sementara kebutuhan dasar tidak terpenuhi.
Potensi Krisis Kepercayaan
Ketua Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Andri Trisko, menilai kebijakan tersebut berisiko merusak kepercayaan publik. Ia menekankan bahwa keresahan masyarakat tidak boleh dianggap enteng.
Menurut Andri, ketidakpekaan Pemkot terhadap kebutuhan warga dapat memicu gelombang penolakan besar. “Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah jika aspirasi mereka terus diabaikan,” ujarnya.
Situasi ini menempatkan Wali Kota Eva Dwiana pada posisi sulit. Publik menunggu keputusan akhir: tetap mengalokasikan Rp60 miliar untuk gedung Kejati atau mengubah arah kebijakan demi memperbaiki jalan, drainase, pendidikan, dan layanan dasar kota.
Konteks Nasional
Fenomena penggunaan APBD untuk lembaga vertikal bukan hal baru di Indonesia. Beberapa daerah kerap mengalokasikan dana hibah untuk instansi pusat dengan alasan memperkuat sinergi. Namun, praktik ini menimbulkan perdebatan karena berpotensi mengorbankan kepentingan lokal.
Para pakar kebijakan publik menekankan pentingnya prioritas. Pemerintah daerah seharusnya mengutamakan pelayanan dasar warga, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lingkungan. Tanpa arah kebijakan yang jelas, APBD berisiko salah sasaran.
Harapan Warga
Warga Bandar Lampung berharap Pemkot lebih fokus pada kebutuhan nyata. Jalan yang layak, sistem drainase yang berfungsi, sekolah yang benar-benar gratis, serta ruang publik yang sehat jauh lebih mendesak dibanding pembangunan gedung vertikal.
Kritik yang viral di media sosial menunjukkan bahwa masyarakat mulai aktif mengawasi kebijakan daerah. Partisipasi ini menjadi sinyal bahwa publik tidak lagi pasif, melainkan menuntut transparansi dan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar.
Keputusan Pemkot Bandar Lampung mengalokasikan Rp60 miliar APBD untuk pembangunan gedung Kejati Lampung memicu polemik. Warga menilai langkah tersebut mengabaikan persoalan mendesak kota, mulai dari infrastruktur hingga pendidikan. Kritik publik menegaskan bahwa pemerintah harus mengubah arah kebijakan agar APBD benar-benar memberi manfaat bagi rakyat.