NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 26, Agustus 2025   |   ✍️ Wawan Hidayat

Kronologi Pemukulan Jurnalis Antara

JAKARTA, NU MEDIA JATI AGUNG, – Kekerasan terhadap pers kembali mencuat. Pada Senin (25/8/2025), pewarta foto Antara, Bayu Pratama Syahputra, menjadi korban pemukulan ketika ia meliput aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat. Akibat insiden itu, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Nasional segera melayangkan kecaman keras. Dengan demikian, publik langsung menilai bahwa kebebasan pers kembali terciderai.

Bayu tiba di lokasi sekitar pukul 13.00 WIB. Ia mengenakan helm bertanda Antara, menggantung dua kamera profesional, serta menyiapkan peralatan lain. Selanjutnya, ia memilih berdiri di balik barisan polisi agar bisa bekerja lebih aman. Ketika situasi memanas, ia mengangkat kamera untuk merekam momen penting. Namun, justru pada saat itu ia menerima pukulan mendadak.

“Saya ke barisan polisi supaya lebih aman. Saya mulai memotret. Tiba-tiba ada oknum memukul masyarakat, lalu saya juga kena pukul,” kata Bayu, Selasa (26/8/2025). Dengan penjelasan itu, ia menegaskan bahwa ia tetap menunjukkan identitas pers. Selain itu, ia menekankan bahwa ia sudah menjalankan tugas sesuai prosedur liputan.

Karena ia memotret aparat yang diduga menganiaya demonstran, Bayu menduga kekerasan memang disengaja. Ia menerima pukulan di kepala dan tangan meskipun ia sudah mengenakan atribut lengkap. Oleh sebab itu, ia langsung mencari pertolongan rekan dan kemudian melapor ke organisasi profesi. Dengan cara itu, ia berharap peristiwa ini bisa diproses secara hukum.

PFI Tuntut Polisi Usut Tuntas

Ketua Umum PFI Nasional, Reno Esnir, segera menyampaikan kecaman keras. Ia menilai aparat justru gagal menjalankan tugas karena seharusnya melindungi kerja jurnalistik. “Kebebasan pers kembali ternoda. PFI berharap oknum pelaku dari kepolisian tertangkap dan menerima hukuman berat,” ujar Reno melalui kanal resmi PFI. Karena itu, ia menekankan bahwa jurnalis membawa mandat publik untuk meliput dan menyampaikan kebenaran.

Lebih lanjut, Reno menyorot pola kekerasan aparat yang berulang. Menurutnya, aparat perlu memahami SOP pengamanan aksi dengan menghormati kerja pers. “Wartawan sudah tertib dan UU memberi perlindungan. Kalau jurnalis yang jelas-jelas bertugas saja masih kena pukul, apalagi masyarakat biasa. Saya melihat unsur kesengajaan, jadi pelaku layak menerima sanksi setimpal,” tegasnya.

Selain itu, PFI membuka jalur advokasi hukum. Tim hukum menyiapkan pendampingan, dokumentasi bukti, serta komunikasi resmi dengan kepolisian. Dengan adanya langkah ini, PFI berharap proses etik dan pidana berjalan beriringan. Karena itu, mereka menolak penyelesaian hanya berupa permintaan maaf.

Harapan Korban dan Proses Advokasi

Bayu juga menyampaikan harapan sederhana namun tegas. “Saya ingin pelaku menerima hukuman sesuai hukum yang berlaku. Aparat di lapangan juga perlu edukasi agar insiden seperti ini tidak terulang,” ujarnya. Dengan kata lain, ia menekankan pentingnya edukasi agar aparat memahami peran pers.

Sejalan dengan itu, Anggota Divisi Hukum dan Advokasi PFI Nasional, Helmi Fitriansyah, menegaskan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas melindungi kerja jurnalis. “Pewarta foto bekerja sesuai aturan dan kode etik. Aparat harus menghormati itu. Insiden seperti ini mencoreng catatan kebebasan pers,” kata Helmi. Oleh sebab itu, tim advokasi menyiapkan pendampingan untuk pelaporan, visum, serta koordinasi dengan lembaga pendamping lain.

Di sisi lain, PFI juga mengajak redaksi dan komunitas jurnalis untuk mengarsipkan bukti visual, testimoni saksi, serta kronologi lengkap. Dengan dokumentasi rapi, aparat penegak hukum bisa menilai duduk perkara dengan objektif. Selain itu, publik pun bisa memantau perkembangan kasus secara transparan.

Catatan Kekerasan Terhadap Jurnalis

Sepekan sebelum kejadian Senayan, insiden pemukulan juga menimpa jurnalis yang meliput aksi di Serang, Banten. Menurut laporan lapangan, sepuluh wartawan menerima pukulan. Satu pewarta foto Antara termasuk di antara korban. Karena insiden itu, komunitas pers menilai kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi kasus tunggal, melainkan pola berulang.

Organisasi pers berkali-kali mengingatkan bahwa pengamanan aksi tidak boleh membatasi kerja jurnalistik. Pada prinsipnya, jurnalis hadir untuk merekam fakta, bukan memprovokasi. Oleh sebab itu, ketika pemukulan jurnalis terjadi, publik kehilangan akses pada catatan independen. Pada akhirnya, demokrasi pun menerima dampak karena informasi tidak tersampaikan secara utuh.

Selain itu, redaksi juga mengalami efek domino. Tim liputan harus menambah biaya keselamatan, menyiapkan peralatan pelindung, dan menyusun SOP evakuasi. Reporter pemula bisa mengalami trauma, lalu enggan meliput aksi. Akibatnya, kualitas liputan jangka panjang menurun.

Regulasi, Kode Etik, dan Tanggung Jawab Aparat

UU Pers No. 40/1999 menegaskan hak jurnalis untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Kode Etik Jurnalistik juga menyusun pedoman perilaku profesional. Karena itu, redaksi wajib menyaring informasi, memverifikasi kebenaran, serta memberi ruang hak jawab.

Sementara itu, aparat keamanan memegang mandat untuk menjaga ketertiban. Dalam situasi ricuh, aparat seharusnya mengutamakan asas proporsional, legalitas, dan akuntabilitas. Dengan pemahaman yang baik, aparat dapat mengenali atribut pers dan memfasilitasi kerja jurnalistik. Sebaliknya, jika pemahaman itu abai, risiko kekerasan meningkat.

Oleh sebab itu, banyak pihak mendorong modul pelatihan bersama antara organisasi pers dan kepolisian. Materi bisa mencakup pengenalan identitas pers, zona aman pengambilan gambar, mekanisme komunikasi darurat, serta prosedur klarifikasi cepat. Dengan adanya pelatihan tersebut, konflik di lapangan bisa menurun secara signifikan.

Dampak pada Demokrasi dan Kepercayaan Publik

Kekerasan terhadap pers selalu menurunkan kualitas demokrasi. Publik membutuhkan informasi akurat untuk mengambil keputusan. Karena itu, media hadir untuk menyediakan catatan faktual, menguji klaim, serta mengawasi kekuasaan. Jika jurnalis bekerja dalam ketakutan, liputan akan melemah, sumber enggan bicara, dan investigasi terhenti.

Selain itu, kepercayaan publik juga ikut terganggu. Warga melihat aparat sebagai penjaga hukum. Namun, ketika aparat justru memukul pewarta, warga merasa negara mengecilkan arti transparansi. Dengan demikian, percakapan publik di media sosial bisa menjadi bising dan penuh frustrasi.

Rekomendasi Konkret: Cegah Kekerasan, Perkuat Akuntabilitas

Agar kasus tidak berulang, PFI dan komunitas pers mendorong beberapa langkah konkret. Pertama, negara harus menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku. Kedua, aparat perlu menerima pelatihan rutin tentang kerja jurnalistik. Ketiga, kepolisian dan organisasi pers bisa menandatangani MoU untuk mengatur zona liputan. Keempat, redaksi harus menyusun SOP keselamatan. Kelima, jurnalis perlu mendapat akses hotline advokasi terpadu. Akhirnya, publikasi berkala tentang perkembangan kasus bisa memastikan akuntabilitas.

Dengan rekomendasi tersebut, publik akan melihat sinyal kuat bahwa negara serius menjaga ruang kerja pers. Selain itu, organisasi pers aktif mendorong standar keselamatan. Karena itu, publik pun tetap memegang kendali atas transparansi proses hukum.

Ujian untuk Komitmen Kebebasan Pers

Kasus Bayu membuktikan bahwa perlindungan jurnalis tidak boleh berhenti pada slogan. Aparat perlu membuktikan komitmen melalui penindakan nyata. Di sisi lain, organisasi pers harus terus mengawal proses hukum. Pada akhirnya, publik juga menunggu langkah tegas.

Singkatnya, pemukulan jurnalis bukan sekadar serangan terhadap individu. Sebaliknya, tindakan itu menyerang hak publik atas informasi. Oleh karena itu, ketika kita melindungi jurnalis, kita sebenarnya