
Perjalanan hidup KH Imron Rosjadi (pada tulisan ini digunakan ejaan lama Imron Rosjadi untuk menunjukkan otentisitas data dari koran dan ejaan baru Imron Rasyadi untuk menunjukkan ejaan saat ini) begitu berliku, baik riwayat pendidikan dan karier organisasi maupun politiknya. Ia pernah memimpin organisasi pemuda NU, GP Ansor, sebagai ketua umum, jadi anggota parlemen, pernah dipenjara saat Orde Lama, serta duta besar.
Imron Rosyadi lahir di Indramayu, Jawa Barat. Masa kecil hingga remaja menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren lain, di samping sekolah formal. Pendidikan HIS diselesaikan di kota kelahirannya, lulus tahun 1929. Lalu MULO di Bandung dan Cirebon lulus 1934.
Kemudian pendidikan keagamaannya diselesaikan di Pondok Pesantren Jamsaren Solo pada tahun 1935, Madrasah Rabithah Alawiyah Solo, dan di Madrasah Unwanul Falah Kwitang, Jakarta pada tahun 1936.
Kemudian menimba ilmu di 3 negara.
- Di Pondok Langgar, Alor Star Kedah, Malaysia pada tahun 1937.
- Di Madrasah Saulatiyah Makkah, Arab Saudi pada tahun 1939.
- Di Public Secondary School Bagdad, Irak 1942. Di kota dan negara ini pula, ia menempuh pendidikan di Law College pada tahun 1948.
Jadi Sekretaris KKMI dan Diplomat
Ketika Imron Rosyadi belajar di Madrasah Saulatiyah Makkah sebelum melanjutkan studinya ke Irak, di zaman itu terjadi kegoncangan politik dan ekonomi dampak Perang Dunia ke-2. Dampak itu terasa juga sampai ke Makkah banyak jamaah haji, pelajar, dan mukimin Indonesia kesulitan ekonomi dan tak bisa pulang ke Indonesia. Berita itu sampai juga ke Tanah Air. Maka dibentuklah komite untuk menangani masalah itu.
Pada sebuah catatan berjudul “Mengenang Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Makkah”, beberapa tokoh umat Islam membentuk Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Mekah (Comite KMIM) pada 7 Juli 1940 dengan susunan personalia:
- Mr. Tadjoeddin Noer (Beschermheer)
- Abdoelsamad (Ketua)
- HA Taminsaid (Bendahara)
- GM Ch. Kasoema (Penulis I)
- Abdoessalam (Penulis II)
- Anggota: Fermantsjah, H. Abdoesjoekoer, A. Adjoes, Ma’soem, HA Alisaad, Anang Salman, dan Zainoeddin Zain (Lukman Hakiem, Republika)
Untuk mempercepat gerakannya, dibentuklah komite yang sama di beberapa daerah. Para penggeraknya mengumpulkan sumbangan dana dan mengirimkannya ke Makkah. Komite itu fokus untuk biaya kepulangan jamaah haji dan pelajar ke tanah air. Mereka juga berkoordinasi dengan perusahaan kapal laut sebagai sarana transportasi.
Untuk memudahkan alur informasi dan keuangan di Makkah dibentuk pula Komite Kesengsaraan Makkah Indonesia (KKMI), pengurusnya antara lain:
- Imron Rosjadi (Pen. I)
- Madjidi Affendi (Bendahara)
- Moersal Aziz (Ketua I)
- Ahmad Rifa’i (Ketua II)
- A.K. Djauhari (Penulis II)
- Oemar Hoesain, Ahmad Abdulhamid, Choiri Soefian, Abdul Hamid Agil (Commissaris)
Berita tentang masalah itu muncul di koran Pandji Islam No. 42, 21 Oktober 1940 berjudul “MA’LOEMAT MIAI”, isinya:
“Pada beberapa hari baroe jang laloe, Secretariaat MIAI telah kirim kawat kepada Komite Kesengsaraan di Makkah, jang maksoednja ialah minta keterangan lebih djaoeh tentang keadaan kaoem Moekimin di Makkah itoe, lagi poela menanjakan tentang pengiriman oeang dari MIAI sudahkan diterima ataoe beloem, sebab MIAI akan mengirimkan sokongannja.”
Dari pemberitaan itu terlihat bahwa komunikasi lewat telegraf antara KMIM, MIAI, dan KKMI berjalan lancar. Imron Rosyadi sebagai penulis (sekretaris) menjalankan fungsinya dengan baik.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Imron menjadi diplomat Republik Indonesia di Irak (1947–1950) dan Arab Saudi (1950–1952).
Pimpin GP Ansor dan LAPUNU
Sekembalinya dari luar negeri, Imron Rosyadi melakukan persamaan ijazah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1953 dan mendapatkan gelar Mr. (setara SH). Setahun kemudian ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
Berita tentang terpilihnya Imron Rosyadi dimuat di koran Kedaulatan Rakjat, 4 Maret 1955 berjudul “Susunan Putjuk Pimpinan G.P Ansor”. Disebutkan:
“Mu’tamar ke-3 G.P. Ansor di Surabaja telah menunjuk 3 formateur, ialah Mr. Imron Rosjadi, KH. Wahib Wahab, dan Achmad Shiddiq. Setelah bekerja segiat-giatnya beberapa hari, terbentuklah susunan:
Ketua Umum: Mr. Imron Rosjadi
Wk. Ketua I: KH. Wahib Wahab
Wk. Ketua II: Achmad Shiddiq
Sekum: Aminudin Idris
Sek. I: Abdulghoni Majdie
Sek. II: Hamdie Hamdan
Bend. I: A. Latief Jemjati
Bend. II: Abduloh Alwi Murtado
Penasehat: H. Idham Chalid, J.A.A Achsien”
Saat menjabat Ketua Umum GP Ansor, Imron juga aktif di PBNU dan LAPUNU (Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama). Kedaulatan Rakjat, edisi 272, memuat nama-nama tokoh NU yang berkeliling Indonesia untuk kampanye Pemilu 1955: KH Wahab, KH Dahlan, KH Masjkur, Idham Cholid, Saefudin Zuhri, Imron Rosjadi, Mr. Sunardjo, KH Ilyas, KH Wahib Wahab, A.A. Achsien, dan Fathullah.
NU untuk pertama kali ikut pemilu sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi tahun 1952. NU memperoleh suara ketiga setelah PNI dan Masyumi: 6.955.141 suara (18,41%) dan 45 kursi. Imron terpilih menjadi anggota DPR.
Kuasa Usaha di Swiss
Sebulan setelah Pemilu, KH Imron Rosyadi mendapat tugas dari Kemenlu sebagai Kuasa Usaha RI di Swiss (Bern). Pemandangan, edisi 315, 11 November 1955 menulis:
“Mr. Imron Rosjadi adalah salah seorang tenaga Pimpinan G.P. Ansor dan kini bekerdja pada Kementrian luar negeri. Mr. Imron Rosjadi akan berangkat ke tempat kedudukanja jang baru pada tanggal 13 November jang akan datang.”
Masuk Penjara karena Demokrasi Terpimpin
Pada Muktamar ke-22 NU di Jakarta tahun 1959, Imron menjadi pimpinan sidang tata tertib. KH Wahab Chasbullah kembali terpilih sebagai Rais Aam dan KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum.
Muktamar itu membahas ideologi negara di tengah situasi politik-ekonomi yang tidak stabil. Setelah muktamar, Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin. Di NU terjadi pro-kontra. KH Moch Dahlan dan KH Imron Rosyadi termasuk yang menolak.
Imron terlibat dalam Liga Demokrasi (1960) dan ditangkap tahun 1962. Ia dipenjara hingga 1966.
Koran Angkatan Bersendjata, edisi 31 Agustus 1966 menyebut:
“KH. Imron Rosyadi SH. jang pernah di tahan selama k.l. empat tahun oleh rezim Subandrio, bilang tidak setudju kalau tahanan Gestapu-PKI disebut ‘tahanan politik’, dan beri saran untuk orang² itu disebut ‘tahanan kriminal’.”
“The Right Man in the Right Place”
Dalam sebuah album keluarga, ada foto KH Imron Rosyadi bertuliskan:
“Proficiat, dengan terpilihnya Bapak sebagai Ketua Komisi I DPR. Bapak adalah The right man in the right place. Dalam sidang Konstituante RI yang dramatis, Bapak dan Pak KH Achmad Dimyati datang ke rumah kami, meminta bila nanti diadakan voting dan berat menerima, agar kami keluar, jangan menentang. Kami jawab, kami bukan orang plin-plan, kami akan menyokong kawan-kawan kita.”
Kalimat tersebut tampaknya mengapresiasi sikap tegas KH Imron Rosyadi terhadap Demokrasi Terpimpin dan komunisme.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh