Enas Mabarti, dosen Universitas Garut sekaligus politisi dan penulis, aktif mengabdi untuk NU serta melestarikan budaya Sunda. Ia menulis buku, memimpin organisasi, dan mewariskan gagasan politik hingga wafat pada April 2014.
Kiprah Akademisi dan Aktivis NU
NU MEDIA JATI AGUNG, – Enas Mabarti dikenal luas sebagai dosen perguruan tinggi swasta di Kabupaten Garut. Selain itu, ia aktif sebagai politisi sekaligus penulis yang produktif. Media bahkan menjulukinya kolumnis karena ia sering menulis analisis tajam. Ia juga populer dengan sebutan wartawan hutan lantaran menulis rutin di majalah Kehutanan.
Saat menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Enas tidak hanya fokus kuliah. Ia juga nyantri di Pondok Pesantren Krapyak asuhan KH Ali Ma’shum. Dari sanalah ia semakin dekat dengan NU. Kemudian, ia aktif dalam Gerakan Pemuda Ansor.
Sekembalinya ke Garut, Enas memikul tanggung jawab penting. Ia dipercaya memimpin Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Garut. Dengan demikian, ia berkontribusi langsung pada pendidikan generasi muda NU di daerahnya.
Perjalanan Politik
Selain mengajar, Enas meniti karier politik. Ia pernah menjabat anggota DPRD II Garut periode 1982–1987 melalui Partai Persatuan Pembangunan. Setelah reformasi, ia terpilih menjadi Ketua PKB Garut tahun 1999. Pada saat yang sama, ia juga menjabat Ketua PCNU Garut.
Dengan dua peran tersebut, ia menggabungkan politik dan dakwah sosial. Oleh karena itu, masyarakat Garut mengenangnya sebagai tokoh NU yang teguh memperjuangkan kepentingan umat.
Produktivitas dalam Dunia Tulisan
Sejak masa SMA, Enas sudah tekun menulis. Ia mengirimkan karya ke berbagai media, mulai dari Pikiran Rakyat, Sipatahoenan, majalah Sunda Mangle, hingga Bina Rimba Perhutani. Periode 1978–1988, ia aktif sebagai wartawan di Bina Rimba.
Karena sikap melankolisnya, banyak orang menjulukinya lelaki sutra. Julukan itu melekat karena ia memadukan kelembutan pribadi dengan ketajaman pemikiran. Selain artikel, ia menulis karya sastra dan menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk puisi.
Ia juga menulis buku berbahasa Sunda berjudul Rencep Sidem Gunem. Buku tersebut memadukan renungan kehidupan dengan ayat Al-Qur’an, hadits, dan qaul ulama. Oleh karena itu, karya ini melahirkan ajaran moral yang indah dan penuh nilai.
Karya Politik untuk Warga NU
Selain karya sastra, Enas juga menulis buku politik. Ia menulis Elmu Politik keur Warga NU atau Ilmu Politik untuk Warga NU. Buku tersebut unik karena ia tulis dalam bahasa Sunda.
Dalam karyanya itu, Enas menyampaikan harapan khusus. Ia ingin masyarakat Nahdliyin, terutama di Garut dan Sunda umumnya, memahami politik secara mendalam. Ia menegaskan, “Dasar politik warga NU harus berlandaskan ilmu, iman, keahlian, dan takwa.”
Dengan demikian, ia menekankan pentingnya ilmu dan akhlak dalam politik. Oleh karena itu, banyak kalangan menilai karyanya relevan untuk generasi NU masa kini.
Warisan dan Wasiat Budaya
Enas Mabarti wafat pada April 2014. Namun, ia meninggalkan warisan besar dalam bidang pendidikan, politik, dan budaya. Terlebih lagi, ia menorehkan sejarah melalui karya tulis yang masih dibaca banyak kalangan.
Sebagai bukti kecintaannya pada kebudayaan Sunda, Enas berpesan khusus sebelum wafat. Ia berwasiat agar honorarium dari seluruh karya tulisnya disumbangkan untuk pengembangan Pusat Studi Sunda (PSS).
Dengan demikian, ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk melestarikan budaya Sunda. Akhirnya, pengabdian dan dedikasinya tetap hidup melalui karya dan gagasan yang abadi.
Enas Mabarti bukan sekadar dosen, politisi, atau penulis biasa. Ia menggabungkan semua peran itu dengan komitmen kuat terhadap NU dan budaya Sunda. Selain itu, ia meneguhkan identitas sebagai Nahdliyin yang intelektual sekaligus seniman.
Pada akhirnya, sosoknya menjadi teladan bagi generasi muda NU. Ia menunjukkan bahwa pengabdian bisa dilakukan melalui pendidikan, politik, dan budaya. Karena itu, masyarakat Garut dan NU secara umum mengenangnya sebagai tokoh penuh dedikasi.