NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 12, Juli 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Namanya barangkali tidak asing bagi para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebab tercatat sebagai salah satu pendiri dan termaktub dalam materi-materi pengkaderan organisasi mahasiswa berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah tersebut.

Ahmad Chalid Mawardi, demikian nama lengkapnya. Ia lahir pada 11 September 1936, hanya berselang setahun setelah Muktamar ke-10 Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Surakarta, tempat ia dilahirkan.

Chalid (dibaca Cholid, sebagaimana dalam Silsilah Keluarga KH Masyhud Keprabon Solo) adalah putra pasangan Kiai Mawardi bin KH Mawardi Sepuh dan Nyai Hj Mahmudah binti KH Masyhud. Kedua orang tuanya merupakan tokoh penggerak di Surakarta. Ayahnya pernah aktif di Partai Sarekat Islam saat KH Agus Salim memimpin. Ibunya adalah pendidik di Madrasah Sunniyah Keprabon dan Nahdlatul Muslimat (NDM) Kauman Surakarta.

Nyai Mahmudah, lahir 12 Februari 1912, harus membesarkan anak-anaknya sendirian sejak usia 34 tahun, karena Kiai Mawardi wafat dalam usia muda pada masa revolusi. Anak-anak mereka antara lain:

  • Djabir Mawardi (pengurus awal PP IPNU)
  • Latifatuzzahroh alias Latifah Mawardi (pendiri IPPNU)
  • Faridatul Unsiyah Mawardi (Ketua PP IPPNU 1963–1966)
  • Farida, lahir 20 Agustus 1945, beberapa hari setelah Proklamasi RI.

Masa Kecil dan Lingkungan Keluarga

Masa kecil Chalid dihabiskan di Keprabon, Solo. Ia mendapat pendidikan agama dari ibunya dan kakeknya, KH Masyhud bin Qosim bin Ahmad (wafat 1950-an), seorang ulama berpengaruh asal Bonang, Lasem. Dalam susunan PCNU Solo 1938, Kiai Masyhud tercatat sebagai A’wan Syuriyah (Berita Nahdlatoel Oelama No 14, Th ke-7, 15 Mei 1938).

Kakek Chalid dikenal keras dan konservatif, bahkan melarang anak-cucunya menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda karena dianggap sebagai “pemerintah kafir.” Nama Kiai Masyhud dan Kiai Mawardi Sepuh bahkan disebut oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak (1997) sebagai kiai progresif.

Kiai Masyhud, semasa muda bernama Mustahal, berganti nama saat pergi haji dan belajar di Makkah. Ia dikenal ahli ilmu nahwu, penggemar bait-bait Alfiyah Ibnu Malik, dan pernah nyantri ke Kiai Kholil Bangkalan.

Mendirikan IPNU dan PMII

Chalid tinggal di kompleks Pesantren Al Masyhudiyah. Ia lulus dari Madrasah Sunniyah (1948), SMPN VI Solo (1951), dan SMAN IV Solo (1954). Pada 27 Desember 1953, Chalid bersama pamannya, Mustahal Ahmad, mendirikan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Surakarta (IPNUS).

Dalam Konbes LP Ma’arif NU 1954 di Semarang, Mustahal dan Chalid memaparkan urgensi wadah pelajar NU. Forum itu melahirkan IPNU, dengan hari lahir ditetapkan 24 Februari 1954 (20 Jumadil Akhir 1373 H).

Dua bulan kemudian, diadakan Konferensi Lima Daerah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Jombang, Kediri) di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta. Moh. Tolchah Mansoer ditetapkan sebagai Ketua Umum pertama, dengan Yogyakarta sebagai pusat organisasi. Chalid menjadi Sekretaris Perwakilan Pimpinan Pusat IPNU di Jakarta.

Tahun 1954, Chalid kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat UI, lalu melanjutkan di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1956–1960) dan meraih gelar sarjana.

Ibunya, Nyai Mahmudah, Ketua Umum PP Muslimat NU, terpilih sebagai anggota DPR/konstituante hasil Pemilu 1955. Pada 1960, Chalid menjadi anggota MPRS di usia 24 tahun. Tahun yang sama, pada 17 April 1960, PMII resmi berdiri. Meski tak hadir saat deklarasi, Chalid adalah salah satu pengusul dan menjabat Ketua I PP PMII, mendampingi Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum.

Jurnalis dan Aktivis

Chalid dan Mahbub sama-sama lahir dan tumbuh di Solo, Chalid di Keprabon, Mahbub di Kauman. Keduanya aktif sebagai redaktur koran Duta Masyarakat. Chalid pernah meliput haji 1965 dan menulis serial “Saudi Arabia Jang Kulihat.” Dalam edisi 28 Mei 1965, ia mengkritik kebijakan Arab Saudi terhadap Palestina dan hubungan dengan AS dan Jerman.

Duta Masyarakat dibredel setelah Pemilu 1971 karena memuat laporan kecurangan pemilu. Tahun itu juga, Chalid terpilih sebagai anggota DPR/MPR dari Partai NU mewakili Kodya Pare-pare, Sulawesi.

Jabatan dan Kiprah Lain

Chalid pernah menjadi:

  • Ketua Umum PP GP Ansor (1980–1985)
  • Sekretaris Umum PP GP Ansor (1959–1963)
  • Anggota parlemen hingga NU fusi ke PPP
  • Dubes RI untuk Suriah (1984–1988)
  • Ketua PBNU (1989–1994, era Gus Dur)

Dalam satu kesempatan, Chalid menyampaikan pesan penting untuk generasi muda NU:

“NU sekarang menghadapi tantangan baru, maka jadilah kader yang selain ahli ilmu nahwu, ilmu shorof, juga ahli ilmu komputer dan lain sebagainya.”

Wafat

KH A Chalid Mawardi wafat pada 26 Juli 2024 dalam usia hampir 88 tahun (11 September 1936 – 26 Juli 2024), dimakamkan di Pemakaman Al Azhar, Karawang, Jawa Barat. Lahul fatihah.

Referensi:

  1. Wawancara KH A Chalid Mawardi (Jakarta, Maret 2017; Solo, Mei 2018)
  2. Wawancara Nashirul Ulum (Solo, 22 Juni 2014)
  3. Wawancara KH Abdullah Asyari (Februari 2017)
  4. Duta Masyarakat edisi 28 Mei 1965
  5. Berita Nahdlatoel Oelama No 14 Th ke-7, 15 Mei 1938
  6. Riwayat Hidup Anggota MPR RI (Lembaga Pemilu, 1973)
  7. Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak (1997)
  8. Fragmen Seperempat Abad PMII (DSC PMII Surakarta, 1985)