
Ulama Ternama dari Baghdad
NU MEDIA JATI AGUNG, – Salah satu cendekiawan Muslim besar yang lahir di bulan Sya’ban adalah Abu Tsana’ al-Alusi. Ulama kelahiran Baghdad ini membuktikan dirinya sebagai mufassir kondang lewat karya monumental Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî. Para ulama menjadikan kitab ini sebagai salah satu rujukan penting dalam kajian tafsir Al-Qur’an.
Nama lengkapnya Abu Tsanâ’ Syihâbuddîn Sayyid Mahmûd Afandî al-Alûsî al-Baghdâdî. Ia lahir pada 15 Sya’ban 1217 H/11 Desember 1802 M di Baghdad, Irak. Orang menyebutnya “Alusi” karena nama itu berasal dari sebuah desa di sebuah pulau di tengah Sungai Efrat.
Kecerdasan dan Perjalanan Menuntut Ilmu
Sejak kecil, kecerdasan Al-Alusi sudah menonjol. Pada usia 13 tahun, ia sudah mengajar dan menulis. Daya tangkapnya yang tajam membuatnya cepat memahami serta menghafal pelajaran, dan ia mampu mempertahankan hafalannya dalam waktu lama. Ia terus menjaga keuletannya hingga berhasil menulis sejumlah kitab di sela-sela kesibukannya.
Dalam perjalanan intelektualnya, ia menimba ilmu dari banyak ulama. Ia belajar fiqih Syafi’i dan Hanafi kepada Sayyid Abdullah Afandi, mempelajari hadits dan logika kepada Syekh ‘Alauddin Afandi al-Mushili, mendalami ilmu qira’at bersama Syekh Abdullah Afandi al-Umari, serta berguru kepada Syekh Husein al-Jaburi. Ia juga menerima bimbingan Thariqah Naqsyabandiyyah dari Syekh Dhiya’uddin Khalid an-Naqsyabandi. Tentang gurunya ini, Al-Alusi berkata, “Dia adalah guruku, mursyidku, dan seorang wali quthub.”
Dedikasi dalam Pendidikan dan Fatwa
Al-Alusi mendidik banyak santri dan membiayai kebutuhan mereka, mulai dari makanan, pakaian, hingga asrama. Ia bahkan menyiapkan tempat tinggal santri yang lebih layak dibanding rumahnya sendiri. Dengan keikhlasan itu, ia berhasil mencetak generasi cendekiawan Muslim unggul.
Ia bermazhab Syafi’i, tetapi sering mengikuti mazhab Hanafi. Pada 1248 H, pihak berwenang menunjuknya sebagai mufti Hanafi. Ia mengemban jabatan itu hingga 1263 H, lalu memutuskan fokus menulis tafsir. Pada 1267 H, ia menuntaskan Rûḫul Ma’ânî dan membawanya ke Konstantinopel. Ia memperlihatkan karya itu kepada Sultan Abdul Majid Khan, lalu menerima restu darinya. Pada 1269 H, ia kembali ke Baghdad.
Al-Alusi wafat pada 25 Dzulqa’dah 1270 H/1854 M. Keluarganya memakamkannya di kompleks Syekh Ma’ruf al-Kurkhi, Baghdad.
Karya-Karya Ilmiah Al-Alusi
Selain Rûḫul Ma’ânî, ia menghasilkan banyak karya, antara lain:
-
Syarh Muslim fil Manthiqi
-
Al-Ajwibah al-‘Iraqiyah ‘anil As’ilatil Lahuriyyah
-
Hasyiyah ‘alal Qatris Salim
-
Durratul Ghawas fi Awhamil Khawas
-
An-Nafahatul Qudsiyyah fi Adabil Bahts
-
Asy-Syaratul Fathimiyyah
-
Safratuz Zad fi Safratil Jihad
-
Nahjus Salamah ‘ala Mabahitsil Imamah
-
At-Tibyan Syarhul Burhan fi Tha’atis Sultan
-
Al-Khariidatul Ghaibiyyah fi Syarhil Qashidah al-‘Ainiyyah
Deretan karya tersebut menegaskan keluasan ilmu Al-Alusi dalam berbagai disiplin, mulai tafsir, fiqih, hingga logika.
Tafsir Rûḫul Ma’ânî dan Kisah Penulisannya
Latar Belakang Penulisan
Menurut Syekh Muhammad Husein adz-Dzahabi (At-Tafsîr wal Mufassirûn) dan Syekh Mani’ Abdul Halim Mahmud (Manâhijul Mufassirîn), keinginan menulis tafsir muncul ketika Al-Alusi berusia 34 tahun. Namun ia ragu untuk memulainya.
Pada malam Jumat bulan Rajab 1252 H, ia bermimpi diperintahkan Allah untuk “menyatukan bumi dan langit.” Dalam mimpi itu tangan kanannya menggapai langit, sementara tangan kirinya masuk ke dasar laut. Ia kemudian menemukan makna mimpi itu sebagai isyarat untuk menulis tafsir.
Sejak itu, ia mantap menulis Rûḫul Ma’ânî. Penulisan dimulai malam 16 Sya’ban 1252 H pada masa Sultan Mahmud Tsani dari Daulah Utsmaniyyah. Setelah 15 tahun, karya itu rampung pada 4 Rabi’ul Awwal 1267 H.
Proses Penulisan
Meski sibuk, Al-Alusi tetap konsisten. Siang ia gunakan untuk berfatwa dan mengajar, malamnya belajar, lalu menulis menjelang akhir malam. Lembaran tulisan itu ia serahkan pagi harinya kepada juru tulis.
Isi dan Keunggulan
Tafsir ini terdiri dari 30 juz dan menghimpun pandangan ulama salaf maupun khalaf. Isinya menggabungkan metode riwayah dan dirayah, serta merangkum tafsir besar seperti karya Ibnu ‘Athiyyah, Abu Hayyan, Al-Kasysyaf, Abu Su’ud, Al-Baidhawi, dan Fakhruddin Ar-Razi.
Atas saran Ali Ridha Pasya, wazir agung Utsmaniyah, kitab ini diberi judul Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî. Para ulama menilai tafsir ini sebagai pencapaian gemilang yang memperkaya khazanah ilmu tafsir.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan