NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 26, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

KH Hasyim Padangan, Ulama Ahli Nahwu Sharaf

NU MEDIA JATI AGUNG, – KH Hasyim Padangan atau Syekh Muhammad Hasyim Al Fadangi menempati posisi penting dalam sejarah pesantren Jawa. Kata kunci utama, KH Hasyim Padangan ulama ahli nahwu, melekat kuat pada dirinya. Beliau menulis, menerjemahkan, mengajar, dan mendidik banyak ulama besar.

Tidak heran jika masyarakat menjulukinya sebagai syaikhus-syaikh atau guru besar para guru. Lebih dari itu, beliau juga tampil sebagai waliyullah yang menguasai literatur Islam. Banyak orang berhasil membaca kitab gundul (kitab kuning tanpa harakat) dan kitab gandul (kitab makna Pegon miring) berkat ilmu yang beliau ajarkan.

Karya-Karya KH Hasyim Padangan

Ketika menutup kitab Tashrifan Padangan yang Maktabah Ahmad Nabhan Surabaya terbitkan pada tahun 1388 H (1968 M), Mbah Hasyim mencatat karya-karyanya, antara lain:

Sayangnya, orang tidak mendokumentasikan semua karya beliau secara lengkap. Karena itu, saat ini umat Islam hanya bisa menemukan Tashrifan Padangan.

Reputasi di Timur Tengah

Selain menghasilkan karya di tanah air, KH Hasyim juga membangun reputasi di mancanegara. K.M. Arifin Mustagfiri (Mbah Pin), pengasuh Darul Ilm Kuncen Padangan, pernah menceritakan bahwa kalangan intelektual Timur Tengah sering membicarakan nama Syekh Hasyim Al Fadangi. Mereka bahkan menjadikan kitab-kitab beliau sebagai bahan kajian.

Mbah Pin menegaskan bahwa dua ulama Nusantara terkenal di Timur Tengah karena karya nahwu-sharaf, yaitu:

  1. Syekh Hasyim Al Fadangi (1850–1942) yang mengarang Tashrifan Padangan

  2. Syekh Maksum bin Ali (1887–1933) yang menulis Tashrifan Jombang

Keduanya memainkan peran penting dalam tradisi kajian nahwu-sharaf di Indonesia pada abad ke-20.

Santri-Santri Ulama Besar

Selain kitab, warisan besar Mbah Hasyim adalah para santrinya yang kelak menjadi ulama besar dan muassis NU di Bojonegoro. Beberapa di antaranya:

  • KH Baidlowi Lasem

  • KH Bisri Mustofa (ayah Gus Mus)

  • KH Usman Cepu

  • KH Ahmad Bisri Mbaru

  • KH Abdul Hadi Padangan

Santri-santri inilah yang kemudian berperan dalam mendirikan NU di berbagai daerah.

Pendidikan dan Sanad Ilmu

Latar Belakang

KH Hasyim Padangan lahir di Desa Ngasinan, Kecamatan Padangan, Bojonegoro (1850–1942). Desa Ngasinan terkenal sebagai markas Pasukan Diponegoro pada Perang Jawa (1825–1830).

Guru-Guru KH Hasyim

Beliau menimba ilmu dari Sayyid Abdurrahman Hasyim Basyaiban di Purworejo, Padangan. Setelah itu, beliau menempuh pendidikan di Haramain dan melanjutkan belajar kepada KH Kholil Bangkalan di Madura.

Sepulang dari Madura, beliau mendirikan pesantren di Dusun Jalakan, Desa Padangan. Sejak saat itu, orang mengenalnya sebagai Mbah Hasyim Jalakan Padangan.

Kiprah dalam Nahdlatul Ulama

Perintis Cabang NU

Dalam dunia organisasi, Mbah Hasyim berperan besar dalam mendirikan NU di berbagai wilayah. Ia merintis NU Padangan, NU Cepu (Kabupaten Blora), dan NU Bojonegoro.

Hubungan dengan KH Wahab Chasbullah

Buku NU Bojonegoro dalam Lintasan Sejarah (2008) menyebutkan bahwa KH Wahab Chasbullah sering sowan kepada Mbah Hasyim untuk mencari berkah. Setelah pertemuan itu, Mbah Hasyim menggerakkan murid dan anak-anaknya seperti KH Marwan Kuncen, KH Masjkur Kuncen, KH Ahmad Bisri Mbaru, dan KH Hakam Hasyim agar merintis NU Padangan pada 1938.

Beliau juga memerintahkan menantunya, KH Usman Cepu, mendirikan Pondok Pesantren Assalam Cepu. Pesantren tersebut menjadi cikal bakal NU Cepu. Selain itu, beliau menugaskan KH Sholeh Hasyim, putranya, untuk merintis NU di Bojonegoro pada 1940-an.

Guru dari KH Baidlowi Lasem

Di antara santrinya, KH Baidlowi Lasem adalah yang paling masyhur. Hampir semua literatur tentang manakib KH Baidlowi menyebut nama KH Hasyim Padangan sebagai gurunya.

KH Baidlowi memiliki tiga guru utama dari kalangan ulama Nusantara:

  • KH Hasyim Padangan

  • KH Umar Harun Sarang

  • KH Idris Jamsaren Solo

Dari ketiganya, ia kemudian melanjutkan pengembaraan intelektual ke Haramain dan menjadi ulama besar di sana.

Penghormatan dari KH Maimoen Zubair

Suatu ketika dalam pengajian umum di Cepu, KH Maimoen Zubair menyebut kawasan Padangan sebagai lemah sepuh, karena pernah ditempati ulama ahli nahwu sharaf, KH Hasyim Padangan. Hingga kini, santri Sarang masih rutin berziarah ke makam beliau, dan dzuriyah KH Maimoen tetap menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga besar Padangan.