
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani (1813–1879 M) merupakan ulama Nusantara yang masyhur di Makkah pada paruh abad ke-19. Di samping memiliki kapasitas keilmuan yang luas, keterkemukaannya dikenal melalui puluhan karya dari berbagai cabang ilmu keislaman. Karya-karya seputar ilmu hadis, gramatika Arab seperti Nahwu dan Sharf, fiqih, tafsir, akidah, tasawuf, dan sejarah menjadikannya sosok ulama produktif yang diakui para ulama dunia.
Dunia pesantren tentu tak asing dengan karya-karyanya seperti Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid (tafsir), Kasyifah al-Saja syarh Safinah al-Naja (fiqih), Maraq al-‘Ubudiyah (tasawuf), dan lainnya yang sampai kini menjadi rujukan utama para santri dan ulama Indonesia.
Tak hanya melalui karya, pengaruh Syekh Nawawi sebagai guru agama di Makkah menjadi fondasi penting lahirnya ulama terkemuka tanah air. Menurut Umar Abdul Jabbar dalam Siyar Ba’d Ulama’ina fi al-Qarn al-Rabi’ Asyar li al-Hijrah (1982), Syekh Nawawi tinggal di Jalan Syi’b ‘Ali (dekat Masjidil Haram) dan rumahnya selalu dihadiri sekitar dua ratus pelajar dari berbagai wilayah Nusantara seperti Sunda, Jawa, Melayu, bahkan dari wilayah Islam lainnya.
Melalui sistem halaqah di rumahnya, lahirlah murid-murid unggul yang kemudian menjadi ulama besar seperti Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan (2012) menyebut Syekh Nawawi sebagai figur penting peletak dasar jaringan ulama di Jawa yang berkembang menjadi komunitas ulama. Mereka mengidentifikasi diri sebagai murid atau penerusnya dan menjadikan karya-karyanya sebagai sumber otoritatif.
Catatan Snouck Hurgronje
Kehidupan Syekh Nawawi di Makkah juga tercatat dalam riset ilmiah Snouck Hurgronje (1857–1936 M) pada 1884–1885. Catatan tersebut dibukukan dalam Mekka (1888, bahasa Jerman) dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dalam bahasa Arab, buku ini berjudul Safhat min Tarikh Makkah al-Mukarramah (1999), diterjemahkan oleh Muhammad Mahmud al-Suryani dan Mi’raj Nawwab Mirza.
Pembahasan khusus tentang Syekh Nawawi bisa ditemukan dalam subbab “Ulama Banten di Makkah” dalam versi terjemahan Arab. Karel A. Steenbrink juga mengutip buku tersebut dalam Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984).
Snouck mencatat aktivitas Syekh Nawawi, mengamati kepribadian, dan berbicara intens dengannya. Menurutnya, banyaknya karya yang dihasilkan Syekh Nawawi karena ambisi dan ketekunannya. Dahulu ia mengajar setiap waktu luang, namun 15 tahun terakhir lebih fokus menulis.
Setiap pagi, dari pukul 07.30–12.00, Syekh Nawawi memberikan tiga kajian sesuai kebutuhan murid. Ia menerima murid dari tingkat dasar hingga mahir. Murid-murid mahir pun turut membantu mengajar di bidang dasar.
Kepribadian dan Kesederhanaan
Meski 30 tahun di Makkah dan menulis 20 karya, ia tetap seorang “Jawa sejati.” Dalam membaca al-Qur’an dan naskah Arab, ia sangat fasih, namun dalam percakapan, ia kesulitan melafalkan huruf Arab tertentu seperti Ha, Kha, ‘Ain, dan Qaf, menggunakan campuran bahasa Jawa.
Syekh Nawawi hidup sederhana. Snouck mencatat, ia tak memperhatikan penampilan. Pakaian dan sorbannya pudar, bahkan bila keluar rumah tetap berpakaian sederhana, tak sepadan dengan kedudukan sosialnya. Tubuhnya bungkuk dan ia berjalan seolah sedang membaca kitab besar.
Saat Snouck bertanya mengapa ia tidak mengajar di Masjidil Haram, Syekh Nawawi menjawab karena pakaian dan penampilannya tidak seperti profesor Arab. Snouck mengatakan bahwa orang-orang Jawi yang lebih rendah ilmunya pun bisa ceramah di sana. Syekh Nawawi menjawab bahwa mereka telah mendapatkan kehormatan itu karena pantas.
Kekaguman Snouck terhadap Syekh Nawawi bukan pada status sosial atau keilmuan, melainkan kepribadiannya yang rendah hati dan bijaksana. Pada awal pertemuan, Snouck belum menyimpulkan demikian, namun lama kelamaan ia menyadari kerendahan hati Syekh Nawawi lewat praktik hidupnya.
Syekh Nawawi menerima cium tangan dari orang Jawa di Makkah sebagai penghormatan terhadap ilmu. Ia tak menolak permintaan fatwa, tidak mendominasi percakapan, dan tidak memulai diskusi ilmiah kecuali diajak. Bahkan orang Arab yang tidak mengenalnya bisa menghabiskan malam bersamanya tanpa tahu bahwa ia penulis 20 karya ilmiah.
Tasawuf dan Kehidupan Pribadi
Syekh Nawawi mengamalkan tasawuf moderat ala Imam al-Ghazali yang menekankan etika. Ia tak menganjurkan murid-muridnya mengikuti tarekat, tapi juga tidak melarang. Ia menyadari kecenderungan masyarakat pada hal mistis, namun bersikap toleran terhadap kekeliruan tarekat—lebih lembut dibanding ulama Arab modern.
Meski dihormati di Makkah, ia memilih hidup sederhana. Ia pernah bekerja sebagai muthowwif (pembimbing haji), yang dianggap tak sepadan oleh murid-muridnya. Ia tidak pandai mencari uang, tak menginginkan hidup mewah. Meski menerima hadiah berharga, ia tetap hidup hemat.
Ia menulis dengan cahaya lampu minyak kecil (misrajah), yang biasa digunakan orang hanya untuk penerangan saat keluar rumah. Istrinya berperan besar dalam menyiapkan jamuan untuk tamu-tamunya saat hari libur, dan layak mendapat ucapan terima kasih karena bantuannya.
Kesimpulan Snouck
Kekaguman Snouck terhadap Syekh Nawawi lahir bukan hanya dari interaksi pribadi, tapi dari pengamatan dan analisis ilmiah. Menurut Snouck, Syekh Nawawi adalah ulama asal Banten paling terkenal di Makkah, diakui banyak kalangan. Namun bukan hanya itu, pengaruh moralnya yang luas dan sikap rendah hatinya menjadi kunci mengapa banyak orang memilih belajar padanya.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan