NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 10, Juli 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Cicalengka, kecamatan di sebelah timur Kabupaten Bandung, sejak lama menjadi tempat merantau orang Palembang. Mereka berbisnis, terutama mengusahakan minyak sereh wangi, tenun, dan tanaman lada. Tetapi mereka sangat besar pula perhatiannya terhadap dunia pendidikan, terutama Islam, bahkan orientasinya bukan hanya di tanah air, melainkan nun jauh hingga ke Mesir dan Turki. Karena besar perhatiannya itulah, tidak heran bila di antara mereka banyak yang menjadi ulama, aktivis organisasi keislaman, dan pendiri lembaga pendidikan keislaman.

Sebelum membahas keterlibatan orang Palembang di Cicalengka dalam dunia ilmu keislaman, terutama yang diwakili salah seorang tokohnya yaitu Hamid Hamzah (m. 1941), sekilas saya akan menguraikan bisnis yang mereka kerjakan.

Dari laporan surat kabar, saya jadi tahu lahan di Cicalengka untuk kebun dan pabrik sereh sangat luas. Menurut AN (“Sereh moendoer, Sampeu Madjoe”, Sipatahoenan, 26 Agustus 1936), sebelum 1933 luas lahan pabrik sereh di Nagreg sebanyak 400 bahu. Sedangkan pada periode 1933–1935 luasnya menjadi berkurang menjadi 200 bahu. Satu bahu (bouw, bau) berkisar sekitar 7.000–7.400 meter persegi.

Selain sereh, saudagar Palembang di Cicalengka juga mencoba mengusahakan penanaman lada (pedes), sebagaimana dalam berita “Melak Pedes” (Sinar Pasoendan, 12 Oktober 1934). Salah satu penyebabnya adalah turunnya harga minyak sereh, sementara tanaman lada belum memiliki saingan dan harganya lebih menjanjikan.

Dengan latar pengusaha itulah, orang-orang Palembang di Cicalengka memiliki modal untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, khususnya ke negeri-negeri pusat pengajaran Islam. Misalnya keluarga pasangan Hamzah dan Embi Eteng, yang empat anaknya – Zen Hamzah, Hamid Hamzah, Tohir Hamzah, dan Aminoeddin Hamzah – merupakan lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Kuliah di Universitas Al-Azhar

Hamzah adalah anak pertama dari Muhamad Aqil, menurut Silsilah Keluarga Besar Muhamad Aqil (2021). Hamzah menikah dengan Embi Eteng dan memiliki sembilan anak: Hasanah, Toyib (1901–1986), Halimah, Mariam, Zen, Hamid, Tohir, Aminuddin, dan Mardiah. Latar belakang keluarga Hamzah adalah pemilik pabrik sereh.

Hal ini terbukti antara lain dalam berita Sipatahoenan edisi 18 Juni 1934, yang menyebut lokasi kejadian “dekat pabrik sereh milik Encik Hamzah”.

Hamzah termasuk dalam jajaran “saoedagar-saoedagar Palembang di Tjitjalengka”. Ia menyekolahkan anak-anaknya ke Universitas Al-Azhar dan Daroe El Oeloem di Mesir. Menariknya, Hamid Hamzah adalah yang pertama tercatat sebagai siswa di Daroe El Oeloem, bersama enam pemuda Indonesia lainnya.

Dalam “Azhar University, Daroel Oeloem, dan Pemoeda-pemoeda Indonesia” (Mustika, 15 Desember 1931; Bintang Timoer, 21 Desember 1931), Hamid berasal dari Tjitjalengka, Jawa. Berita lain menyebutkan Zen Hamzah dan Tahir Hamzah sebagai lulusan Al-Azhar (Bintang Timoer, 17 dan 25 Oktober 1932).

Pada 29 Januari 1933, Hamid Hamzah ikut mendirikan organisasi Perhimpoenan Indonesia Raya di Kairo dan menjadi bendahara. Sementara Zen menjadi ketua Indonesia Club pada April 1933.

Hamid juga menjadi koresponden surat kabar Al-Moemin edisi 15 Januari 1933. Tahun 1939, disebut bahwa Hamid Hamzah adalah abituriën Universitas Al-Azhar dan Daroe El Oeloem, sementara saudaranya Aminoeddin Hamzah melanjutkan studi ke Turki (IPO No. 30, 29 Juli 1939).

Ketua NU Ranting Cicalengka

Sekembalinya dari Mesir, anak-anak Hamzah aktif sebagai pemuka agama Islam, aktivis organisasi, dan pendiri lembaga pendidikan seperti Madrasah Fathoel Chair, yang kini menjadi TK Islam Terpadu Al-Muhsinat Fathul Khair.

Pada Minggu, 15 Juli 1934, NU mengadakan pertemuan di madrasah ini. Di antara yang hadir adalah Hamid Hamzah, yang kemudian aktif di NU Cabang Bandung. Dalam berita Sipatahoenan, 10 Agustus 1939, namanya disebut sebagai narasumber – meskipun tertulis “Hamzah Hamid”.

Sebulan sebelumnya, Hamid Hamzah menjadi wakil ketua dalam Comite Persiapan Partij Islam Indonesia (PII) di Cicalengka, bersama kakak dan adiknya.

Pada Desember 1939, Madrasah Fathoel Chair menjadi tempat aksi massa Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang dihadiri sekitar 500 orang, termasuk 150 perempuan.

Wafat

Sayangnya, Hamid Hamzah wafat pada Sabtu, 18 April 1941 akibat radang paru-paru selama dua minggu. Dalam obituari Pemandangan edisi 24 April 1941, disebutkan ia adalah:

“Salah seorang ex student Universitas Cairo, kepala Madrasah Fathoel Chair, pemimpin NO (NU), wakil ketua PII, pembantu koperasi pribumi dan anggota P.O.”

Hamid menikah dengan Romlah dan memiliki anak bernama Nunu Azizah. Ia juga menjadi menantu KH Ambari, ketua HBPO Majalengka.

Tradisi menuntut ilmu dari Cicalengka ke Mesir terus berlanjut. Dalam artikel Sipatahoenan, 2 Desember 1939, tercatat siswa asal Cicalengka yang lulus dari Daroe El Oeloem.