
Syekh Imam Maghfuro atau Kiai Imam Puro dikenal sebagai pembawa pertama Tarekat Syathariyah di Purworejo. Ia memperoleh tarekat ini dari Kiai Guru Loning atau Syekh Mansyur Rofi’i, adik dari Kiai Taftazani (guru utama Pangeran Diponegoro).
Namun, bila merujuk pada manaqib yang penulis temukan, sanad Tarekat Syathariyah-Sadziliyah Kiai Imam Puro didapatkan dari Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Mufti Syafiiyah di Makkah pada masa 1800-an. Meski demikian, tetap saja ada kemungkinan Kiai Imam Puro menerima Tarekat Syathariyah (dari jalur Syekh Abdullah Syathari) dari Ki Guru Loning.
Kiai Imam Puro dalam cerita rakyat dikenal sebagai salah seorang guru tarekat penyokong perlawanan Pangeran Diponegoro di wilayah Purworejo pada Perang Jawa (1825–1830). Ia juga dikenal sebagai keturunan kraton.
Kitab Manaqib
Manaqib Kiai Imam Puro yang disusun dalam kitab tipis beraksara Pegon berjudul Manaqib Kiyahi Raden Imam Puro al-Masyhur bi Waliyyillah, memberikan gambaran tentang perjalanan beliau dalam mencari ilmu, pertemuannya dengan syekh di Makkah, beberapa karamah, dan doa-doa lain yang disusun melalui riwayat murid-murid dan orang-orang yang pernah bertemu dengannya.
Namun, dalam manaqib ini tidak dijelaskan silsilah keluarga beliau. Karena dikenal sebagai guru pada masa Perang Diponegoro dan silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, maka dapat dikatakan bahwa beliau hidup pada masa tersebut.
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan lahir pada 1816 M/1232 H. Ini menguatkan bahwa Kiai Imam Puro hidup sekitar abad ke-19, dan semasa dengan Perang Diponegoro (1825–1830). Namun, dalam manaqib tidak disebutkan secara eksplisit tahun kehidupan beliau.
Wilayah Pengaruh
Dari kitab manaqib, murid tarekat Kiai Imam Puro berasal dari berbagai daerah seperti Kebumen, Kudus, dan tempat lainnya. Jika dikaitkan dengan Perang Diponegoro, maka beliau hidup sekitar tahun-tahun itu dan setelahnya.
Pesantren Al-Ishlah Purworejo (dulunya Pesantren Sidomulyo) menurut KH Adib Luthfi Hakim menjadi pusat penyiaran Tarekat Syathariyah Sadziliyah. Kini tarekat ini berkembang di pesantren tersebut.
Silsilah Tarekat Syathariyah Sadziliyah dalam Manaqib:
- Syekh Imam Maghfuro / Imam Puro
- Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan
- Abdurrahman bin Ali as-Saqqof
- Ali bin Umar
- Umar bin as-Saqqof
- Hasan Abdullah bin al-Haddad
- Abdurrahman bin Alwi al-Haddad
- Umar bin Abdurrahman al-Athasy
- Abu Bakar bin Salim
- Umar bin Muhammad Ba Syaiban
- Abdurrahman bin Ali as-Saqqof
- Ali bin Abdurrahman as-Sakron
- Bakar bin Abdurrahman as-Saqqof
- Abdurrahman
- Muhammad Maulad Dawilah
- Alwi bin al-Faqih al-Muqoddam
- Muhammad bin Ali (al-Faqih al-Muqoddam)
- Muhammad al-Baqir hingga Nabi Muhammad SAW
Silsilah ini menunjukkan bahwa Tarekat Syathariyah-Sadziliyah Kiai Imam Puro tidak berkaitan langsung dengan Syekh Abdullah Syathari. Penamaan “Syathariyah” memiliki makna lain, didukung oleh adanya tarekat lain seperti yang diajarkan oleh Syekh Ibrahim Brumbung, yang kemudian disebut Qadiriyah wa Naqsyabandiyah wa Syathariyah.
Makna Syathariyah
Syekh Muhammad al-Ghauts dalam al-Jawahirul Khamsah menyebut masyrab syathar sebagai tingkatan dzikir tinggi setelah abraar dan ahyaar. Mereka yang berada di tingkatan ini:
- Memiliki manifestasi batin dan lahir yang tajalli terhadap Al-Haqq.
- Menyibukkan diri dengan musyahadah terhadap Al-Haqq dan memahami bentuk-bentuk ash-shuurah al-Muhammadiyah.
- Mengenali tingkatan tajalliyat Al-Haqq (ada yang menyebut 40 tingkatan, ada yang 7 tingkat: ajsam, khayal, arwah, wahidiyah, wahdah, ahadiyah, insan kamil).
Oleh karena itu, penamaan “Syathariyah” merujuk pada jenjang rohani yang tinggi, meski tidak memiliki silsilah ke Syekh Abdullah Syathari. Hal ini juga berlaku pada Tarekat Syathariyah Sadziliyah yang dihubungkan dengan Kiai Imam Puro.
Selain mengamalkan aurad Tarekat Syathariyah Sadziliyah, menurut manaqib, Kiai Imam Puro juga mengamalkan ratib, Shalawat Kubra, Shalawat Tamlaa’u Khazaa’inallaah (100x), shalawat dalam redaksi An-Nabii Shollu alaihi*, *Shalawaatullaahi
alaih…, dan dzikir aurad tahlil.
Namun, tentang kehidupan pribadi dan keturunannya, dalam manaqib yang disusun oleh KH Muhammad Ma’mur (ayah KH Adib Luthfi Hakim, mursyid saat ini), tidak dijelaskan.
Kita hanya tahu bahwa beliau adalah mursyid Tarekat Syathariyah Sadziliyah, memiliki banyak murid, dan karamah, serta makamnya berada di Geger Menjangan.
Menurut Zainul Milal Bizawi dalam Masterpiece Islam Nusantara dan laporan media, nama asli Kiai Imam Puro adalah Khasan Benawi, keturunan ke-8 dari Joko Umbaran (kerabat Sultan Agung Hanyokrokusumo). Setelah belajar Islam, Khasan Benawi hijrah ke Purworejo dan dikenal sebagai Kiai Raden Imam Puro. Namun, hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan