
Sebuah artikel pendek yang dimuat di Harian Pelita edisi Kamis, 17 November 1977 memberitakan kabar duka. H. Murtadji Bisri, Ketua Pertama serta Pendiri Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), meninggal dunia di kediamannya, Jl. Cokroaminoto 21, Surabaya.
Bagi pengurus maupun warga Nahdlatul Ulama (NU), khususnya di Jawa Timur, nama H. Murtadji Bisri tentu cukup populer di masa itu. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Partai NU Wilayah Jawa Timur dan juga Ketua Pertama serta Pendiri Sarbumusi.
Mengenai profil singkat H. Murtadji Bisri, penulis dapatkan di buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama – 1955) di Indonesia (Parlaungan, 1956). Ia dilahirkan pada 15 Agustus 1918 di Jetis, Kabupaten Ponorogo, Madiun. Maksud “Madiun” di sini tentu mengacu pada Karesidenan Madiun yang meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, dan Ponorogo. Karesidenan ini dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur pada tahun 1928.
Berbekal pendidikan di MULO dan Kweekschool Islam (tamat 1940), ia memulai karier sebagai guru kepala di Sekolah Ma’arif NU Malang (1942–1945), kemudian menjadi pengawas umum pembagian bahan makanan untuk wilayah Kabupaten Malang (1945–1947). Ia juga menerima gelar Mayor Tituler (1947–1950), dan menjabat sebagai Sekretaris/Wakil Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Timur (1950–1956).
Keberadaannya di Malang dimanfaatkannya untuk aktif dalam berbagai pergerakan dan perjuangan: Ketua Bagian Penerangan Masjumi Karesidenan Malang, Ketua Pendidikan NU Cabang Malang, dan Ketua Partai NU Jawa Timur.
Menjadi Wakil Rakyat dan Suara Buruh
Ketika NU menjadi partai politik dan ikut kontestasi Pemilu 1955, H. Murtadji Bisri terpilih menjadi Anggota DPR RI dari Partai NU untuk daerah pemilihan Jawa Timur. Ia juga menjadi anggota DPR RI pasca-Dekrit Presiden 1959 (1959–1960), dan anggota DPR-GR (1960–1966) mewakili Sarbumusi.
Sebagai wakil rakyat, ia tergolong cukup vokal. Dalam sidang DPR (Risalah Perundingan Sidang IV, 17 November 1958) mengenai RUU nasionalisasi perusahaan Belanda, ia menyampaikan:
“Diadjukannja di Parlemen rantjangan Undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, dengan ini fraksi kami dapat menjetudjui, malah persetudjuan tersebut sudah dimuat dalam pernjataan Pengurus Besar Sarbumusi tanggal 28 Oktober 1958 di surat kabar Duta Masjarakat…”
Ia juga mengingatkan agar pemerintah memperhatikan nasib buruh di perusahaan tersebut, dan melibatkan serikat buruh dalam proses nasionalisasi:
“Sebagai penutup kami sarankan kepada Pemerintah dengan sungguh mengenai pasaran kerdja buruh… hendaknja buruh-buruh tersebut segera dapat ditolong dipekerdjakan kembali…”
Siapa Ketua Sarbumusi yang Pertama?
Sarbumusi lahir pada 27 September 1955, hanya beberapa hari sebelum Pemilu 1955. Tak dapat dipungkiri bahwa kelahiran Sarbumusi dilatarbelakangi kepentingan politik untuk menggalang suara buruh. Namun, juga memiliki nilai keagamaan dan historis.
Alfanny dalam skripsinya Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) 1955–1973 (FSUI, 2001) mencatat bahwa banyak pesantren didirikan dekat pabrik-pabrik, misalnya:
- Tebuireng dekat PG Tjoekir
- Lirboyo dekat PG Pesantren Baru
- Denanyar dekat PG Jombang Baru
Inilah basis awal perkembangan Sarbumusi. Sebelum resmi berdiri, PBNU sudah memiliki bidang perburuhan yang diketuai Zainal Arifin Tanamas. Di daerah juga ada serikat buruh NU seperti IBNU (Karawang) dan SBNU (Tanjung Perak Surabaya).
Kepengurusan Sarbumusi resmi dibentuk. Namun, dalam beberapa referensi, seperti skripsi Alfanny dan artikel NU Online Inilah Profil Konfederasi Sarbumusi, nama KH Thohir Bakri disebut sebagai ketua pertama. Nama H. Murtadji Bisri tidak disebut.
Padahal, dalam susunan kepengurusan PBNU hasil Muktamar ke-21 tahun 1956, ia tercantum sebagai Ketua PB Sarbumusi dan Anggota Tanfidziyah PBNU. Obituari KH Thohir Bakri (Harian Duta Masjarakat, 11 Agustus 1959) juga tidak menyebut peran beliau sebagai ketua Sarbumusi.
Dokumen resmi pendirian Sarbumusi yang menyebut nama ketua pertama belum ditemukan. Karena itu, penghapusan nama H. Murtadji Bisri dari daftar ketua umum layak dikoreksi.
Kursus Perburuhan: Pendidikan Buruh ala NU
Pada masa kepemimpinan H. Murtadji Bisri, Sarbumusi menyelenggarakan Kursus Perburuhan, salah satu rekomendasi Kongres I Sarbumusi. Kursus ini dilaksanakan hingga tingkat cabang.
Penulis menemukan dokumen sertifikat kelulusan Ujian Akhir Kursus Perburuhan Sarbumusi Cabang Boyolali tahun ajaran 1958 (23–27 Mei 1958). Sertifikat milik Nyai Hj Muslimah, aktivis Muslimat NU Boyolali, ditandatangani oleh Ketua R. Slamet Kamaluddin, Sekretaris Choironi, dan diketahui oleh Wakil Ketua Partai NU Cabang Boyolali KH M. Dimjathi Soleh.
Menariknya, materi kursus tidak hanya tentang perburuhan, tapi juga:
- Membaca Al-Qur’an
- Kitab Fathul Mu’in
- Ushul fiqh
- Tauhid
- Korespondensi
- Administrasi kepegawaian
- Organisasi
- Tata negara
- KUHP, HIR, sejarah Indonesia dan Islam
Hal ini membuktikan bahwa Sarbumusi bukan hanya alat politik Partai NU, tetapi juga memiliki peran sosial-historis dan misi keagamaan. Ia menjadi wadah warga NU dan kaum buruh dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh