
NU MEDIA JATI AGUNG, – Politik identitas bukan isu baru dalam dunia politik dan filsafat. Istilah ini mencuat di dunia politik setelah dibahas dalam simposium Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di Wina tahun 1994. Menurut KBBI, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Secara istilah, identitas adalah perasaan dalam diri seseorang atau komunitas terkait hal-hal yang menyamakan atau membedakan mereka dari orang lain.
Politik identitas adalah metode politik yang mengelompokkan identitas (politik atau sosial) sebagai kekuatan politik. Ini menjadi alat untuk menentukan posisi kepentingan dalam komunitas politik. Sederhananya, politik identitas menjadikan perbedaan dan persamaan sebagai alat politik, yang memicu keterlibatan dari kelompok dengan identitas serupa.
Identitas terbentuk dari dua faktor utama:
1. Primordialisme, yakni ikatan bawaan seperti ras dan kepercayaan.
2. Konstruktivisme, yaitu hasil dari proses sosial yang kompleks.
Dalam demokrasi, politik identitas sulit dihindari karena ia menjadi dasar pembentukan aliansi politik berdasarkan kesamaan identitas, nilai, dan latar belakang. Namun, kenyataannya di Indonesia, politik identitas kerap digunakan bukan untuk adu gagasan, melainkan untuk meraih suara melalui perbedaan simbolik.
Dampak negatif politik identitas:
Mengganggu ketenteraman negara
Menyebabkan perpecahan dan polarisasi
Menggerus pluralisme dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia
Contoh: “Pilih si A karena berasal dari suku A” atau “Jangan pilih si B karena dia melaksanakan qunut.”
Namun demikian, simbol-simbol agama/kultural dalam politik identitas tidak selalu negatif. Ia dapat bernilai positif jika:
Dilakukan tanpa diskriminasi
Tidak menonjolkan supremasi kelompok
Tidak menimbulkan kebencian
Sikap inilah yang diambil PBNU dan Muhammadiyah, yang dalam pertemuan Mei 2023 sepakat menolak politik identitas.
Pandangan Islam terhadap politik identitas:
Islam sangat menekankan persatuan, keadilan, dan menolak diskriminasi. Beberapa dalil terkait:
1. QS Al-Ma’idah: 8
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil…”
2. QS Al-Hujurat: 12
“Jangan mencari-cari keburukan orang dan jangan menggunjing satu sama lain…”
3. QS Al-Hujurat: 13
“Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Islam juga mengajarkan etika berbeda sebagai bentuk identitas, tanpa mencela atau merendahkan. Rasulullah Saw. kadang menampilkan perbedaan identitas dengan ahlul kitab dalam konteks strategis atau maslahat tertentu, seperti dalam hal pakaian atau gaya rambut, tetapi tetap bersikap santun.
Hadits:
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut mereka, maka selisihilah mereka!” (HR al-Bukhari)
“Nabi suka menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak diperintahkan…” (HR al-Bukhari)
Namun, Rasulullah tetap melarang caci maki dan laknat, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits:
“Rasulullah bukanlah orang yang biasa mengucapkan kata-kata jorok, bukan pengutuk, dan bukan pencaci maki.” (HR al-Bukhari)
“Jangan saling dengki, saling menipu, saling marah, dan memutuskan hubungan…” (HR Muslim)
Kesimpulan: Politik identitas tidak dilarang mutlak, tetapi harus dilakukan dengan etika dan adab yang menjunjung persaudaraan, keadilan, dan menjauhi kebencian. Jika menyebabkan perpecahan, saling merendahkan, atau permusuhan, maka jelas hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.