NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 4, Juli 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Namanya Syekh Abdul Muhyi “Pamijahan”, dikenal di kalangan Tarekat Syathariyah di Jawa, generasi setelah Walisanga. Menurut buku Intelektualisme Pesantren (2003: 167), beliau disebutkan lahir di Mataram, Lombok, pada tahun 1650 M/1071 H. Penyebutan Lombok ini tidak tepat, sebab maksud Mataram saat kelahiran Syekh Abdul Muhyi itu adalah Mataram Islam di Jawa Tengah yang wilayahnya sampai ke Sumedang.

Penamaan “Pamijahan”, menurut sebagian kajian, adalah nama lain dari kampung yang dulu ditinggali Syekh Abdul Muhyi, yaitu Safar Wadi di Sukapura.

Tahun kelahiran Syekh Abdul Muhyi menunjuk pada masa Raja Mataram dipegang oleh Amangkurat I (memerintah 1646–1677) yang penuh gejolak pemberontakan Trunajaya, sampai Sang Raja harus menyingkir ke Tegalwangi. Syekh Abdul Muhyi wafat tahun 1730 M/1151 H, pada masa Raja Mataram diperintah oleh Pakubuwono II (1726–1742), yang juga dipenuhi gejolak antara Kumpeni, Kraton, dan Perlawanan Mas Garendi/Sunan Kuning.

Tarekat Syekh Abdul Muhyi

Tarekat Syekh Abdul Muhyi telah dikaji oleh banyak sarjana, di antaranya: Tomy Christomy (2008); Oman Fathurahman (2016); dan Didin Nurul Rosidin (2019), yang menjelaskan silsilah tarekat Syekh Abdul Muhyi dari Syekh Abdurra’uf as-Singkili.

Dengan silsilah ini, Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai pembawa Tarekat Syathariyah yang silsilahnya tidak melalui Walisanga, tetapi langsung kepada Syekh Abdurra’uf as-Singkili, lalu kepada Ahmad al-Qusyasyi, dan terus sampai kepada Syekh Abdullah Syathari dan kepada Nabi Muhammad SAW.

Ayahnya bernama Lebe Warta (Wartakusumah), keturunan bangsawan Galuh-Pajajaran. Ibunya, menurut sukapura.or.id., bernama Nyai Syarifah Tanjiah (Nyai Rd. Adjeng Tanganziah). Mereka memiliki enam anak, termasuk Syekh Abdul Muhyi.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Syekh Abdul Muhyi menuntut ilmu di Aceh (dari Syekh Abdurrauf as-Singkili), Baghdad (ziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jilani), dan Makkah. Di Aceh ia mengambil baiat Tarekat Syathariyah, dan kemungkinan juga Qadiriyah (meskipun tidak disebarluaskan sebagaimana Syathariyah).

Ia juga bertemu Syekh Yusuf al-Makassari dan Syekh Ahmad al-Qusyasyi. Karena Syekh Ahmad al-Qusyasyi wafat tahun 1661 M/1071 H, maka studi Syekh Abdul Muhyi diperkirakan terjadi sebelum tahun itu.

Dakwah dan Pendidikan

Sekembalinya ke tanah air, Syekh Abdul Muhyi berdakwah di berbagai wilayah: Ampel, Darma Kuningan (1678–1685), Pameungpeuk (1686–1690), Batuwangi, Gua Sapar, dan akhirnya menetap di Safar Wadi (Pamijahan).

Ia menikah dengan empat istri dan memiliki banyak anak. Anak-anak dan murid-muridnya melanjutkan penyebaran tarekat. Tomy Christomy menyebut Dalem Mas Bojong, Syekh Abdullah, dan Syekh Faqih Ibrahim sebagai penerusnya. Faqih Ibrahim dikenal juga sebagai Sunan Cipager.

Penyebaran Tarekat

Murid-muridnya menyebar ke berbagai wilayah Jawa Barat dan Tengah: Batavia, Banten, Cirebon, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Magetan.

Syekh Abdul Muhyi dianggap generasi kedua Syathariyah setelah Walisanga. Generasi ketiga di antaranya adalah Syekh Asy’ari Kaliwungu, yang sanadnya berbeda namun juga sampai ke Syekh Abdullah Syathari.

Ajaran Martabat Tujuh

Dalam khazanah Syathariyah, diajarkan pengenalan Martabat Tujuh (Martabat Kang Pitutu), sebuah jenjang spiritual yang dikembangkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfatur Risalah ilaa Ruuhin Nabii. Tujuannya untuk mencapai kesadaran insan kamil dan tajalli Al-Haqq.

Pengajaran ini menekankan muraqabah dan penguatan iman, bahwa segala sesuatu adalah Kehendak Allah. Ini memperkuat kesadaran tauhid dan hubungan batin dengan Allah serta Rasulullah.

Warisan dan Peran

Syekh Abdul Muhyi bukan hanya guru tarekat, tetapi juga pendidik ruhani yang membina kekuatan batin muridnya. Ia menggunakan bahasa lokal dan Arab dalam karyanya seperti Martabat Kang Pitutu dan Bayaan al-Qahhaar.

Syekh Abdul Muhyi menjadi mata rantai penting spiritualitas Jawa. Ia sejalan dengan para kutub tarekat lainnya seperti Syekh Ibrahim Brumbung. Ajarannya mengokohkan bahwa kekuatan sejati hanya berasal dari Allah, dan khidmah kepada umat adalah kunci hidup spiritual sejati.

Wallaahu A’lam.