
Mbah Benu yang bernama lengkap Raden Ibnu Hajar Sholeh Pranolo (83) mendadak jadi perbincangan banyak orang setelah video pengakuannya yang sudah berkomunikasi langsung dengan Allah viral dalam penentuan 1 Syawal. Istilah metafor (majazi) yang kerap digunakan Mbah Benu saat berkomunikasi dengan Allah adalah “telepon Allah” dan “menelepon Allah”.
Seringnya istilah ‘telepon Allah’ yang diucapkan Mbah Benu diungkapkan Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DI Yogyakarta, KH Anis Mashduqi, saat ia bersama beberapa pengurus PWNU DIY bertabayun ke kediaman Mbah Benu di Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY pada Ahad (7/4/2024).
Salah satu yang ditabayunkan oleh PWNU DIY kepada Mbah Benu adalah soal penetapan 1 Syawal 1445. Mengaku tidak memakai perhitungan apa pun dan hanya berkomunikasi langsung dengan Allah, Mbah Benu dan jamaahnya di Masjid Aolia mengadakan shalat Idul Fitri pada 5 April 2024, selisih lima hari dari prediksi lebaran yang akan jatuh pada 10 April 2024.
Kiai Anis Mashduqi dan rombongan PWNU DIY sangat menghormati keyakinan Mbah Benu. Namun, kata Kiai Anis, keyakinan Mbah Benu dalam penentuan Idul Fitri diharapkan PWNU DIY agar untuk dirinya sendiri, tidak mengajak masyarakat.
Merespons harapan dari PWNU DIY tersebut, Mbah Benu mengaku ingin menelepon Allah terlebih dahulu.
“Sebentar, saya telepon Gusti Allah dulu,” ungkap Kiai Anis menirukan perkataan Mbah Benu.
Sesaat setelah itu, Mbah Benu hening dan menundukkan kepala seperti sedang berkomunikasi secara batin.
“Allah mengatakan, turuti saja orang-orang yang datang itu (tamu pengurus PWNU DIY),” ucap Mbah Benu mengungkapkan hasil komunikasinya kepada para pengurus PWNU DIY.
Sosok Mbah Benu
Di balik pengalaman spiritual dan batiniahnya yang memunculkan kontroversi, Kiai Anis Mashduqi mengungkapkan bahwa Mbah Benu sosok yang ramah. Lelaki sepuh kelahiran Purwokerto, 28 Desember 1942 dan besar di Purworejo ini terbuka dengan siapa pun untuk bertukar pikiran, sehingga para pengurus PWNU DIY diterima dengan baik dan hangat.
“Mbah Benu orangnya sangat terbuka, ramah, suka guyon, cukup hangat menyambut pengurus PWNU dan mau mendengarkan apa yang kita sampaikan,” ungkap Kiai Anis Mashduqi kepada NU Online, Selasa (9/4/2024).
Kiai Anis justru mengatakan bahwa dirinya dan para pengurus PWNU DIY merasa tidak enak karena jauh lebih muda dibanding Mbah Benu. Lebih muda dalam arti tidak hanya umurnya, tetapi juga peran, pengabdian kepada masyarakat, dan dakwahnya.
“Mbah Benu sosok yang dituakan di sana dan menjadi tokoh yang sangat mengakar. Bahkan untuk lingkup Yogya dan luar Yogya karena jamaahnya ada yang dari luar Yogya,” terangnya.
Pengalaman Spiritual Mbah Benu
Kiai Anis Mashduqi menegaskan, Mbah Benu merupakan tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang memiliki banyak jamaah. Ia berkediaman sekitar 100 meter dari Masjid Aolia yang digunakan Mbah Benu dan jamaahnya untuk beribadah sehari-hari. Termasuk menyelenggarakan pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani setiap tanggal 11 bulan hijriah sebagai sarana kontak dengan Allah.
Dalam obrolan hangat dengan para pengurus PWNU DIY, Mbah Benu tidak sungkan mengungkapkan soal cara ia mendapatkan pengalaman spiritual dan batiniah pertama sebagai seorang Salik (penempuh jalan spiritual). Pengalaman tersebut didapatkan pada 1 Januari 2021, pukul 3 dini hari. Mbah Benu mengatakan, itu adalah pengalaman wushul-nya, tahapan wushul ilallah (sampai kepada Allah).
“Dalam proses spiritualnya itu, Mbah Benu bertemu dengan Syekh Ibrahim as-Samarqandi secara batin dan spiritual, dia dianggap oleh Syekh Ibrahim sebagai murid yang keras kepala. Akhirnya menurut Mbah Benu, gurunya spiritualnya itu menyerahkan dirinya kepada Allah, dan itulah yang dipahami Mbah Benu sebagai wushul,” ungkap Kiai Anis.
“Dia memiliki keyakinan banyak, karena mendasarkan pada pengalaman spiritualnya. Telepon Allah sebetulnya sebagai metafor,” imbuhnya.
Namun Kiai Anis merasa khawatir, karena sesuatu yang terjadi pada proses spiritual Mbah Benu hanyalah bisikan setan. Menurutnya, itulah cara setan untuk mengelabui seorang Salik.
“Jika menyimpang dari syariat kemungkinan bisikan setan. Ini berangkat dari kisah pengalaman Syekh Abdul Qadir Jailani yang pernah mendapat bisikan spiritual bahwa yang diharamkan sekarang dihalalkan baginya. Belakangan Syekh Abdul Qadir mengetahui, itu hanya bisikan setan,” jelas Kiai Anis.
Menyampaikan Persoalan Fiqih
Dalam proses tabayun dengan Mbah Benu, pengurus PWNU DIY juga mengingatkan persoalan fiqih. Adapun untuk masalah Idul Fitri, kata Kiai Anis, sudah jelas di dalam Al-Qur’an dan hadits.
“Mbah Benu terbuka, beliau mengatakan semua dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah. Nah itu yang kita jadikan sebagai pintu masuk menyampaikan dalil-dalil. Tapi Mbah Benu tidak banyak berkomentar dari dalil-dalil yang kita sampaikan,” jelasnya.
Pengurus PWNU DIY menegaskan bahwa keyakinan spiritual Mbah Benu hendaknya tidak digunakan untuk mengajak masyarakat.
“Karena hal ini bisa menimbulkan pergunjingan dan akan timbul masalah hukum. Sebab bisa dianggap menista agama menurut Pasal 165 dan 165a. Itu kita sampaikan juga ke Mbah Benu yang didampingi keluarga dan beberapa perwakilan jamaahnya,” terang Kiai Anis.
Merespons hal itu, Mbah Benu menyampaikan bahwa selama ini ia tidak pernah mengajak masyarakat soal keyakinannya. Soal Idul Fitri, katanya, masyarakat ikut karena melihat ia shalat lebih dulu.
“Karena saya shalat masyarakat ikut, saya itu kalau sama negara paling takut, jangankan sama negara, sama pak RT aja takut,” kata Kiai Anis menirukan perkataan Mbah Benu.
Mbah Benu juga menekankan pentingnya menjaga NKRI, mengikuti pemerintah, setia terhadap negara dan hukum.
Dedikasi Mbah Benu
Mbah Benu merupakan salah satu Mustasyar PCNU Gunungkidul. Ia cukup fasih berbahasa Inggris karena pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM sebelum akhirnya berhenti di semester akhir karena tidak ingin menikmati uang dari orang sakit, menderita, atau meninggal dunia.
Dedikasi dakwahnya diperhitungkan masyarakat Giriharjo, Panggang. Ia memulai dakwah sejak sebelum Gunungkidul seramai sekarang. Dari pelosok ke pelosok, dari masjid ke masjid dengan medan berat, jalan rusak, dan tanpa penerangan.
Masyarakat, khususnya warganet, menurut Kiai Anis, perlu mempertimbangkan kontribusi, dedikasi, dan komitmen dakwah luar biasa dari Mbah Benu.
“Mulai dari jalan kaki, naik motor, daerah terjal naik turun tebing, harus kita tonjolkan sisi positifnya. Semua manusia punya salah dan pernah melakukan kesalahan, termasuk Mbah Benu. Netizen tidak perlu gaduh, kesalahan yang ada perlu diluruskan. Beliau ini terbuka dan tidak sengaja ingin viral dan terkenal,” jelas Kiai Anis.
Dijadikan Kajian Tesis
Mbah Benu merupakan tokoh penyebaran Islam di kawasan Pantai Selatan, Gunungkidul. Pemikirannya dituangkan dalam tesis berjudul “Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo 1942-Sekarang” oleh Mohammad Ulyan (2017), mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam IAIN Purwokerto (kini UIN Prof KH Saifuddin Zuhri).
Ulyan mengungkap, Mbah Benu belajar Islam dari ayahnya, Kiai Sholeh bin KH Abdul Ghani bin Kiai Yunus, yang pernah belajar di pesantren Krapyak, Termas, Lirboyo, dan menjadi murid Mbah Kholil Bangkalan.
Mbah Benu datang ke Gunungkidul mengikuti istrinya yang menjadi bidan di Kecamatan Panggang, dan menetap sejak 27 Juli 1972. Sejak itu ia aktif menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Gunungkidul.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan