NU Jati Agung

🗓️ Juni 17, 2025   |   ✍️ Redaksi

Pengaderan memegang peranan penting dalam menyelaraskan amaliah, fikrah, dan harakah seluruh jajaran kepengurusan NU. 

NU MEDIA JATI AGUNG – Salah satu hasil penting dari Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU) yang digelar pada 20–22 Mei 2022 adalah restrukturisasi sistem kaderisasi. Sebelumnya dikenal dua bentuk pengaderan, yaitu Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) dan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU). Kini, PBNU memperkenalkan sistem kaderisasi yang lebih sistematis melalui tiga jenjang pendidikan kader.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari konsolidasi organisasi, mengingat efektivitas kepengurusan NU sangat bergantung pada kesiapan dan militansi para kadernya.

Tiga Jenjang Pengaderan Baru NU

Tahapan pertama adalah PD-PKPNU (Pendidikan Dasar Kader Penggerak NU), disusul oleh PKMNU (Pendidikan Kader Menengah NU), dan yang tertinggi adalah AKN-NU (Akademi Kepemimpinan Nasional NU), yang dirancang serupa dengan Lemhannas dalam skala internal NU.

Pengaderan ini bersifat progresif. Semakin tinggi tingkat struktur kepengurusan, maka semakin tinggi pula tingkat pengaderan yang diwajibkan. Kurikulum baru merupakan kesinambungan dari materi PKPNU dan MKNU yang dilengkapi dengan visi Ketua Umum dan program kerja PBNU 2022–2027.

Pengaderan yang telah ditempuh oleh kader di badan otonom NU juga tetap diakui. Sebagai contoh, PKN (Pelatihan Kepemimpinan Nasional) dari GP Ansor disetarakan dengan PKMNU, sedangkan PKL (Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan) disetarakan dengan PD-PKPNU. Adapun kader dari IPNU dan IPPNU diakui dua tingkat di bawah.

Santri yang menempuh pendidikan di pesantren induk seperti Lirboyo, Ploso, Sidogiri, dan Sarang juga diakui setara dengan jenjang dasar. Hal ini memungkinkan mereka untuk langsung mengisi posisi dalam struktur kepengurusan NU tanpa harus melalui pengaderan awal.

Urgensi Kaderisasi NU

Sebagai organisasi keagamaan dan sosial, kaderisasi adalah keniscayaan. Menuju usia seabad sejak berdiri pada 1926, NU telah mengalami banyak pergantian kepemimpinan. Santri dan kader muda yang hari ini aktif akan menjadi pemegang estafet organisasi dalam dua hingga tiga dekade mendatang.

Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai Aswaja serta prinsip NU harus dilakukan secara berjenjang dan konsisten agar tidak mengalami distorsi. Apalagi, seiring semakin luasnya cakupan wilayah dan jangkauan NU, tantangan akan keseragaman pemahaman keagamaan dan kebangsaan juga meningkat. Di daerah-daerah baru, potensi pengaruh dari organisasi luar sangat mungkin terjadi.

“Dunia yang semakin terbuka adalah peluang sekaligus tantangan bagi NU,” kata penulis.
Keterbukaan dapat memperluas sebaran nilai-nilai NU, namun di saat yang sama bisa membuat warga NU terekspos pada berbagai ideologi asing seperti liberalisme, kapitalisme, dan sosialisme.

Amaliah, Fikrah, dan Harakah: Pilar Pengurus NU

Menjadi pengurus NU tidak cukup hanya dengan praktik keagamaan seperti tahlilan, qunut, shalawatan, atau istighotsah. Mereka juga harus memiliki fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang sejalan.

Fikrah NU meliputi aspek teologis, fiqh, dan tasawuf yang berakar pada prinsip tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan ‘adalah (adil). Harakah adalah perwujudan nyata dari amaliah dan fikrah dalam bentuk aksi sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.

“Amaliah dan fikrah NU itu abstrak, sedangkan harakah adalah bentuk nyatanya,” tulis penulis.

Langkah Implementasi

Setelah sistem kaderisasi ini disahkan dalam Konbes, tantangan selanjutnya adalah mengimplementasikannya di seluruh tingkatan organisasi. Ribuan alumni PKPNU dan MKNU telah aktif dan menjadi motor pergerakan NU selama ini. Mereka kini berpeluang melanjutkan ke jenjang lebih tinggi seperti PKMNU dan AKN-NU.

Pengaderan juga akan menjadi indikator kinerja. Pengurus yang berprestasi akan diberi penghargaan, sedangkan yang tidak menjalankan tugas dengan baik akan dikenai sanksi. Ini adalah bagian dari sistem reward and punishment yang mulai diterapkan NU.

Pengurus yang telah mengikuti pengaderan, namun tidak aktif atau minim kontribusi, dianggap belum mengimplementasikan nilai harakah. Dengan demikian, target kaderisasi belum sepenuhnya tercapai.

“Menjadi pengurus NU tidak bisa sekadar seadanya, seikhlasnya,” tegas penulis.
“Jika tidak siap berkhidmah, beri ruang bagi yang siap bekerja dan mengabdi.”

Dengan sistem kaderisasi yang terstruktur, NU berharap seluruh pengurus memiliki amaliah, fikrah, dan harakah yang selaras, guna menghadapi dinamika zaman dan memperkuat kontribusi NU kepada umat dan bangsa.

Sumber asli berita:
Achmad Mukafi Niam. “Menata Kaderisasi, Meningkatkan Kinerja Organisasi.” NU Online, 29 Mei 2022.
📎 https://nu.or.id/risalah-redaksi/menata-kaderisasi-meningkatkan-kinerja-organisasi-ercaT