
Perjalanan Awal Kehidupan Nyai Solichah
Lahir dari pasangan KH Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Chadijah pada 11 Oktober 1922, Nyai Solichah kecil diberi nama Munawwaroh. Setelah menikah dengan KH Abdul Wahid Hasyim dan tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, masyarakat mulai mengenalnya sebagai Solichah.
Ia tumbuh di lingkungan Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur, dan mempelajari agama Islam langsung dari kedua orang tuanya. Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim (2011) menyebut bahwa kedua orang tua Nyai Solichah menjadi pelopor dalam mendirikan pesantren khusus perempuan.
Pengaruh KH Wahid Hasyim terhadap Kiprah Solichah
Pernikahan dengan KH Abdul Wahid Hasyim memperluas cakrawala keilmuan dan sosial Nyai Solichah. Suaminya tidak hanya memberikan dukungan moril, tetapi juga membuka akses bagi Nyai Solichah untuk terlibat dalam aktivitas intelektual dan sosial yang lebih luas.
Nyai Solichah ikut pindah ke Jakarta saat suaminya menerima tugas di ibu kota. Ia juga mendampingi Wahid Hasyim ketika kembali ke Tebuireng atas panggilan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia menyaksikan langsung perjuangan dan dinamika kehidupan keluarga, serta tetap setia berada di sisi suaminya.
Nyai Solichah dalam Masa Perjuangan
Nur Khalik Ridwan dalam Ensiklopedia Khittah NU Jilid 4 (2020) menulis bahwa Nyai Solichah secara aktif mendukung perjuangan kemerdekaan. Ia membantu para pejuang dengan memenuhi berbagai kebutuhan logistik dan membangun jaringan dukungan untuk perjuangan rakyat.
Dengan pergaulan yang luas dan keberanian yang menonjol, Nyai Solichah tampil sebagai pemimpin perempuan yang dihormati.
Karier Politik Nyai Solichah
Setelah KH Wahid Hasyim wafat pada April 1953, Nyai Solichah menjadi orang tua tunggal bagi enam anaknya. Di tengah peran domestik itu, ia juga aktif di dunia politik. Ia menjadi anggota DPRD DKI Jakarta pada pertengahan 1950-an.
Dari DPR-GR hingga DPR RI
Saat DPR RI dibubarkan dan digantikan oleh DPR Gotong Royong (DPR-GR) atau MPRS, Nyai Solichah terpilih menjadi anggota. Kemudian, dalam beberapa Pemilu berikutnya, ia terpilih sebagai Anggota DPR RI dari Partai NU dan PPP.
Pengabdian untuk Kesejahteraan Wong Cilik
Nyai Solichah tidak hanya aktif secara politik, tetapi juga giat menggerakkan kegiatan sosial. Ia merupakan pengurus Muslimat NU dan Ketua Umum Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama (YKMNU) sejak 1963 hingga wafatnya tahun 1994.
Mendirikan Balai Kesehatan dan Panti Asuhan
YKMNU dibentuk hasil dari Kongres ke-8 Muslimat NU di Solo tahun 1962. Bersama Nyai Hj Siti Solihah Saifuddin Zuhri, ia memutuskan untuk mendirikan BKIA, memberi santunan anak yatim, serta bantuan bagi keluarga prasejahtera.
YKMNU kemudian membangun klinik-klinik bersalin dan panti asuhan di berbagai daerah.
Membangun Organisasi Sosial Lainnya
Selain YKMNU, Nyai Solichah juga turut mendirikan Yayasan Bunga Kamboja, Pengajian Al-Ishlah, Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, dan Lembaga Penyantun Lanjut Usia. Peran aktifnya menegaskan komitmen terhadap masyarakat secara luas.
Pelopor Program Keluarga Berencana di NU
Nyai Solichah termasuk tokoh awal yang menyosialisasikan program Keluarga Berencana (KB) di lingkungan Nahdliyin. Dengan wibawanya, ia berhasil membuat program ini diterima di kalangan pesantren dan masyarakat tradisional.
Penyerahan Program kepada LKK NU
Sebagai Ketua YKM, ia menyerahkan pengelolaan Program Kependudukan dan KB kepada Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU. Penyerahan itu dilakukan secara resmi pada 27 Januari 1978 dan ditandatangani bersama Nyai Hj Asmah Syachruni dan KH Ali Yafie.
Wafat dan Warisan Sosial
Nyai Solichah wafat pada 9 Juli 1994 dalam usia 72 tahun. Jejak perjuangannya meninggalkan warisan sosial, pendidikan, dan politik yang kuat. Ia tidak hanya ibu bagi anak-anaknya, tetapi juga ibu bangsa bagi masyarakat Nahdliyin dan umat.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan