NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 12, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Sosok Kiai Moh Ashiem Ilyas

NU MEDIA JATI AGUNG, – Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, bersama Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, menjadi pusat peradaban Islam di Indonesia. Banyak alumninya berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU) serta membesarkan pesantren leluhur mereka.

Salah satu tokoh yang dikenang adalah KH Moh Ashiem bin Muhammad Ilyas bin KH Muhammad Asy-Syarqawi, pencipta lambang Pesantren Tebuireng. Lahir pada 29 Desember 1927, ia merupakan cucu muassis Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk.

Majalah Tebuireng tempo dulu mencatat, Kiai Ashiem pernah dipercaya mencucikan pakaian Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari. Putri sulungnya, Nyai Hj Fathimah Al-Batoul, menyebut ayahnya pertama kali nyantri di Tebuireng pada 1936 selama 40 hari, diantar oleh kakaknya KH M Khazin Ilyas. Namun, karena kakaknya tidak betah, ia ikut keluar.

Perjalanan Menimba Ilmu dan Masa Perang

Pada 1940, Kiai Ashiem kembali ke Tebuireng, namun ia hanya menetap satu bulan karena situasi Perang Dunia Kedua. Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1943, ia kembali lagi ke Tebuireng dan menetap hingga 1946. Pada periode ini, ia bergabung dengan barisan Hizbullah dan ikut berperang bersama para kiai serta santri.

Sejarah mencatat bahwa para santri menerima bekal ilmu kemiliteran dan memperoleh ijazah hizib serta doa sebelum terjun ke medan perang. KH Abdul Wahab Chasbullah termasuk salah satu kiai yang memberikan ijazah kepada para laskar.

Gus Moh Wail Al-Wajieh, cucu Kiai Ashiem, menyebut kakeknya menguasai bahasa Inggris, Jepang, Belanda, Portugis, dan Prancis. Ia bahkan menamai putri kedelapannya dengan nama Prancis, Grace Faycha.

Kehidupan Keluarga dan Pengabdian di Dunia Pendidikan

Kiai Ashiem menikahi Nyai Maysaroh, putri Syekh Ali Ar-Rahbini yang mengasuh Yayasan Yasira di Gondanglegi, Malang. Pasangan ini dikaruniai sembilan anak, termasuk Fathimah Al-Batoul dan Grace Faycha.

Setelah tinggal di Mayang, Jember, ia mendirikan Pesantren Tanjung Emas. Ia kemudian kembali ke Guluk-Guluk dan mendirikan Pesantren Al-Anwar Kebun Jeruk. Selain mengasuh pesantren, ia mengajar di MA Annuqayah serta menjabat Rektor STISA (kini Instika) pada 1986–1997.

Kiai Ashiem meninggal pada 5 Mei 1997 saat menunaikan shalat Maghrib.

Asal Usul Penciptaan Lambang Pesantren Tebuireng

Menurut Nyai Fathimah Al-Batoul, sebelum membuat lambang Tebuireng, Kiai Ashiem memenangkan sayembara desain dari perusahaan Susu Cap Nona. Ia menjual hadiah yang diperoleh, lalu memakai hasil penjualannya untuk membeli bolpoin pelikan di Surabaya pada 27 November 1953.

Dengan bolpoin emas 14 karat itu, ia menggambar lambang Tebuireng tanpa menerima perintah dari kiai. Saat itu, pesantren belum memiliki lambang resmi. Panitia mencetak logo berwarna hijau dengan tulisan Arab tersebut pertama kali pada kartu pos Tebuireng.

Nyai Fathimah mengenang, ayahnya sering mengajarkan anak-anak menulis Arab, bahkan memberikan bolpoin bersejarah itu meski rumah masih gelap tanpa listrik.

Filosofi Lambang Pesantren Tebuireng

Lambang yang Kiai Ashiem buat terdiri dari lima komponen dengan makna khusus:

    • Bingkai segitiga (Al-Tsabat) melambangkan keteguhan dan kekokohan seorang laki-laki.

    • Garis vertikal (Al-Istiqamah) menggambarkan konsistensi dan keteguhan pendirian.

    • Bintang (Al-Himmah) menunjukkan semangat untuk meraih cita-cita.

    • Dua sayap (Al-Nasyath wa Al-Tayaquzh) mencerminkan semangat dan kewaspadaan.

    • Lingkaran (Non Afiliasi) menegaskan independensi pesantren dari politik, khususnya konflik Masyumi dan NU.