NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 13, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Latar Belakang dan Asal Usul

NU MEDIA JATI AGUNG, – Terletak di kaki Gunung Bismo, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah menjadi tujuan banyak orang yang bercita-cita menjadi penghafal Al-Qur’an. Dari pesantren ini lahir sosok yang dijuluki “Al-Qur’an berjalan”, KH Muntaha Al-Hafiz. Beliau merupakan putra ketiga KH Asy’ari bin Kiai Abdurrahim bin Kiai Muntaha bin Nida Muhammad.

Kakek buyutnya, Kiai Nida Muhammad, adalah tokoh pertama yang menetap di desa tersebut dan mendirikan sebuah padepokan. Padepokan ini menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah, yang kemudian berkembang menjadi pesantren dengan spesialisasi pengajaran Al-Qur’an.

Pengembangan Pendidikan Al-Qur’an

Di bawah kepemimpinan KH Muntaha, pesantren ini memfokuskan diri pada hafalan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Untuk menunjang pengajaran, beliau mendirikan berbagai sekolah formal yang juga berorientasi pada pendidikan Al-Qur’an, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pendidikan Tingkat Menengah

Lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan pesantren ini meliputi MTs, MA, SMP Takhassus Al-Qur’an, SMA Takhassus Al-Qur’an, dan SMK Takhassus Al-Qur’an.

Pendidikan Tinggi

KH Muntaha juga mendirikan Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) sebagai wadah pendidikan tinggi yang tetap mengedepankan nilai-nilai Al-Qur’an.

Melalui semua lembaga ini, KH Muntaha berupaya menanamkan kecintaan terhadap Al-Qur’an kepada masyarakat luas. Kecintaannya pada kitab suci ini diakuinya sebagai warisan dari sang ayah, KH Asy’ari.

Warisan Hafalan dari Sang Ayah

Setiap selesai shalat, KH Asy’ari selalu membaca dan menghafal Al-Qur’an, meskipun beliau tidak berhasil menamatkannya. KH Muntaha menegaskan bahwa sang ayah dengan riyadhah-nya telah memberikan buah berupa kemampuan hafalannya.

“Sebenarnya, aku menjadi hafizh karena riyadhah bapakku, bukan karena riyadhahku,” ungkapnya, merujuk pada buku KH Muntaha al-Hafizh: Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat karya Samsul Munir Amin (2010).

Perjalanan Menuntut Ilmu Al-Qur’an

KH Muntaha pertama kali menamatkan hafalannya dengan bimbingan Kiai Utsman di Pondok Pesantren Kauman, Kaliwungu, Kendal. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan kepada mahaguru Al-Qur’an Nusantara, KH Munawwir, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di sana, beliau tidak hanya mengulang hafalannya, tetapi juga memperdalam ilmu qiraat sab’ah. KH Muntaha secara konsisten menjaga hafalannya dan memanfaatkan setiap waktu luang untuk mendaras Al-Qur’an.

Karya Monumental – Mushaf Terbesar

Salah satu karya besar KH Muntaha adalah mushaf Al-Qur’an raksasa berukuran 1 x 1,5 meter. Ia mendapatkan inspirasi dari kakeknya yang pernah menulis mushaf, namun penjajah menghancurkannya pada masa revolusi.

Dua santri pilihan, Hayatudin sebagai penulis dan Abdul Malik sebagai pembuat ornamen, menulis mushaf ini atas penunjukan langsung KH Muntaha. Mereka mengerjakan proyek tersebut sejak 1991 hingga 1994, lalu menyerahkannya kepada Presiden Soeharto.

Muniful Ichsan Al Hafizi dan Adelia Intan Ardani meneliti karya ini dan mempublikasikannya dalam Historiografi Al-Qur’an Akbar gagasan KH. Muntaha Al-Hafidz di Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Tahun 1991-1994 yang dimuat dalam Jurnal Al-Isnad Vol. 03 No. 02 Desember 2022.

Kedekatan dengan Gus Dur

KH Muntaha dikenal memiliki hubungan akrab dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur beberapa kali sowan ke Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber. Dalam sebuah rekaman video, terlihat KH Muntaha menyambut Gus Dur dengan pelukan dan ciuman, lalu merangkulnya saat duduk bersama.

Gus Dur menilai KH Muntaha sebagai sosok sederhana yang mengutamakan kepentingan umum, penuh keikhlasan, dan perwujudan tradisi besar keulamaan yang independen dari kekuasaan.

Wafat dan Makam

KH Muntaha wafat pada 29 Desember 2004 dan dimakamkan di Desa Deroduwur, sekitar 8 km dari Kalibeber. Warisan pendidikan dan kecintaannya pada Al-Qur’an terus hidup melalui pesantren dan lembaga yang beliau dirikan.