KH Faqih Muntaha lahir di Wonosobo pada 3 Maret 1955. Ulama kharismatik ini dikenal karena kemampuannya memadukan ilmu agama, sastra, dan dakwah pesantren. Melalui karya dan kepemimpinannya, ia menanamkan tradisi literasi Islami yang menginspirasi banyak santri.
Perjalanan Awal Pendidikan dan Pencarian Ilmu
NU MEDIA JATI AGUNG, – Sejak kecil, KH Faqih Muntaha tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat nilai keislaman. Ia merupakan putra pertama dari Almaghfurlah KH Muntaha dan Nyai Hj Maiyan Jariyah. Suasana religius di pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber membentuk karakter dan semangat keilmuannya.
Ia menempuh pendidikan formal di SD, SMP, dan STM Wonosobo. Meski sekolah tersebut bukan lembaga keagamaan, atmosfer pesantren membuatnya terbiasa dengan tradisi belajar dan berdiskusi tentang Islam. Setelah lulus, ia bertekad memperdalam ilmu agama di luar pesantren keluarganya.
Selanjutnya, ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Termas Pacitan bersama KH Chabib Dimyati. Setelah itu, ia belajar di Krapyak Yogyakarta kepada KH Ali Maksum. Selain itu, ia juga berguru kepada KH Syafi’i di Buaran, Pekalongan.
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmunya, ia kembali ke Wonosobo. Di sana, ia tetap melanjutkan perjalanan spiritual dengan belajar kepada KH Dimyati di Kaliwiro. Bahkan, setelah menikah dengan Nyai Shofiah binti KH Abdul Qadir dari Banyumas, ia tetap istiqamah menuntut ilmu tanpa henti.
Kedalaman Ilmu dan Awal Dakwah Pesantren
Perjalanan panjang dari satu pesantren ke pesantren lain memperkaya pandangan Abah Faqih, sapaan akrabnya. Setiap guru memberikan warna tersendiri dalam membentuk kepribadiannya. Akibatnya, ia tumbuh menjadi sosok alim yang berwawasan luas, terbuka, dan bijak.
Pada tahun 1980, Abah Faqih mulai mengajar di Pesantren Al-Asy’ariyyah. Saat itu, jumlah santri baru sekitar 50 orang. Kitab pertama yang ia ajarkan adalah Burdah karya Imam al-Bushiri. Karya sastra ini menandai kecintaannya pada dunia seni dan keindahan bahasa dalam dakwah Islam.
Setelah wafatnya sang ayah pada 2004, ia memikul tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren. Sejak itu, ia memperluas lembaga pendidikan di bawah naungan Al-Asy’ariyyah. Ia mendirikan SD Takhasus al-Qur’an, Dalul Aitam, serta sekolah-sekolah di daerah terpencil hingga luar Pulau Jawa.
Selain itu, ia juga aktif di berbagai struktur Nahdlatul Ulama. Dalam beberapa periode, ia sempat berkecimpung di dunia politik. Namun, pada akhirnya, ia memilih fokus pada dakwah dan pendidikan sebagai jalan pengabdian utama.
Sastra sebagai Media Dakwah
Selain dikenal sebagai pendidik dan pengasuh pesantren, KH Faqih Muntaha juga merupakan penyair produktif. Ia menulis tiga antologi puisi berjudul Masih Ada Generasi Harapan, Yang Tersisa Tinggal Kemaluannya, dan Galau Hati.
Puisinya tampil lugas, sederhana, namun sarat makna dan kritik sosial. Melalui bait-baitnya, ia menyuarakan keadilan dan kepedulian terhadap rakyat kecil. Dalam puisinya Jangan Salahkan Aku, misalnya, ia menggambarkan jeritan kaum miskin dengan bahasa yang jujur dan menyentuh.
Sementara itu, dalam puisi Penjahat Ditangkap Malaikat, ia menyingkap sisi gelap moralitas pejabat korup yang berpura-pura saleh. Kritiknya tajam, namun tetap bernuansa dakwah yang santun dan mengajak pada kebaikan.
Namun demikian, tidak semua puisinya bernuansa sosial. Beberapa karya juga memuat renungan sufistik yang menunjukkan kedalaman spiritual seorang ulama. Ia percaya bahwa sastra merupakan media dakwah yang lembut, indah, dan mampu menyentuh hati manusia.
Sastravaganza dan Tradisi Literasi Santri
Di bawah kepemimpinannya, Pesantren Al-Asy’ariyyah rutin mengadakan kegiatan Sastravaganza. Kegiatan ini menjadi ajang bagi para santri untuk mengekspresikan karya sastra Islami melalui puisi, prosa, dan drama.
Abah Faqih meyakini bahwa seni dapat menjadi sarana dakwah yang efektif. Ia selalu menekankan bahwa sastra bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana membangun kesadaran spiritual.
Selain itu, ia juga menanamkan prinsip klasik al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh—mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Dengan prinsip itu, ia menumbuhkan semangat literasi di kalangan santri. Ia mendorong mereka untuk membaca dan menulis sebagai bentuk berpikir kritis sekaligus berdakwah melalui pena.
Warisan dan Inspirasi Setelah Wafat
KH Faqih Muntaha wafat pada Jumat, 20 Mei 2016, dalam usia 61 tahun. Meskipun demikian, warisan pemikiran dan karya puisinya tetap hidup hingga kini. Melalui karyanya, ia mengajarkan bahwa dakwah tidak harus berlangsung di mimbar. Dakwah juga dapat hadir melalui kata-kata indah yang menyentuh hati.
Dengan demikian, perjalanan hidup KH Faqih Muntaha membuktikan bahwa ilmu, sastra, dan dakwah dapat berjalan seiring. Ia mengajarkan keseimbangan antara intelektualitas dan spiritualitas.
Hingga kini, banyak santri dan masyarakat yang masih membaca puisinya. Mereka menjadikan karya itu sebagai pengingat bahwa dakwah sejati lahir dari keikhlasan, bukan sekadar kata-kata.
Akhirnya, nama KH Faqih Muntaha tetap harum di dunia pesantren. Ia menjadi simbol ulama yang memadukan kecerdasan, seni, dan dakwah dengan ketulusan.
Lahu al-Fatihah