
Mustajab yang kemudian dikenal dengan nama Bisri dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Rohmah (Mariah) dan ayah yang bernama Syansuri Abdus Shomad pada bulan Dzulhijjah 1304 Hijriah, di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzulhijjah 1304 Hijriah, yang bertepatan dengan 18 September 1887.
Kiai Bisri Syansuri pada 27 Desember 1942 dalam buku “Pendaftaran Orang Indonesia yang Terkemuka yang Ada di Jawa” yang dikeluarkan Pemerintah Jepang menulis data lahir pada 05 Dzulhijjah 1304 H, atau 25 Agustus 1887.
Sebagaimana termaktub dalam silsilah Bani Abd. Shomad, Mustajab kelak dikenal dengan nama Bisri. Nama itu ia peroleh setelah pulang dari Mekkah dan kemudian ditambahi nama ayahnya. Lengkaplah menjadi Bisri Syansuri.
Bisri bersaudara terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan. Saudara tertua Bisri diberi nama Mas’ud. Saudara kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Bisri sendiri merupakan anak ketiga, disusul dua lainnya, Muhdi dan Syafa’atun.
Tulisan berikut ini menarasikan Kiai Bisri Syansuri dalam lintasan arsip keluarga yang tersimpan rapi di Ndalem Kasepuhan Pesantren Denanyar, baik berupa buku yang relevan, surat menyurat, manuskrip kitab, album foto, catatan pribadi maupun kliping media, dengan beberapa ulasan dampingan.
Kenangan dan Karya
Dalam Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang, Kiai Bisri sempat diwawancarai oleh Syekh Zakaria, guru besar Masjidil Haram yang mengikuti rombongan Syekh Yasin Al-Fadani. Syekh Zakaria ingin memasukkan biografi Kiai Bisri ke dalam karyanya Al-Jawahirul Hisan. Kiai Aziz Masyhuri menjelaskan bahwa Kiai Bisri memang tidak banyak menulis buku, namun pemikirannya tersebar luas melalui diskusi, rapat, dan pengajian.
Bahtsul Masail dan Tradisi Keilmuan
Forum ilmiah Bahtsul Masail digelar rutin oleh ulama Jombang, dengan Kiai Bisri sebagai ketua. Setelah beliau wafat, hasil-hasil forum ini diterbitkan dalam Muqarrarat Syura Min Ulamai Jombang (1981). Tradisi ini menjadi bagian penting NU, dan lembaga Bahtsul Masail dibentuk secara formal.
Bahtsul masail pertama NU digelar pada Kongres I tahun 1926. Kegiatan ini berlanjut dalam berbagai forum resmi NU dan kultural, seperti majelis tashih. Salah satu majelis tashih besar diadakan tahun 1959 di Pesantren Denanyar, melibatkan KH Wahab Hasbullah, KH Bisri, dan ulama lainnya. Penulis menduga, karena Kiai Bisri dikenal sebagai pakar fikih dan Denanyar punya koleksi kitab yang lengkap.
Karya dan Arsip
Beberapa karya tulis Kiai Bisri:
- Fatwa tentang KB.
- Catatan tambahan atas hasil Bahtsul Masail PBNU.
- Naskah pidato pada Kongres Thariqah (1968).
- Dua artikel dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama (1927 dan 1928) yang mengulas fikih dan nasihat KH Hasyim Asy’ari.
Seminar Aswaja tahun 1961 di Pesantren Luhur Malang juga memuat makalah Kiai Bisri. Ia juga mencatat pinggiran kitab (hasyiah) dan syarah yang kini disimpan di Perpustakaan Denanyar. Selain itu, Kiai Bisri mengarsip dokumen organisasi, wirid, dan surat-surat dari para tokoh NU seperti KH Ali Maksum, KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, dan lainnya.
Wafat dan Penghormatan
KH Bisri wafat pada Jumat, 25 April 1980 (09/10 Jumadil Akhir 1400 H), usia 93 tahun. Ribuan warga, Nahdliyin, dan tokoh nasional takziah. Shalat jenazah dilaksanakan hingga 32 kali, terakhir di Masjid Denanyar oleh KH Imam Zarkasyi dari Gontor. Proses pengangkatan jenazah bahkan tidak bisa dikendalikan karena derasnya antusiasme warga.
Pidato sambutan diberikan oleh tokoh-tokoh nasional:
- Gus Dur (keluarga),
- KH Anwar Musaddad (PBNU),
- KH Masykur (DPR RI),
- Prof. Dr. HAMKA (MUI),
- H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama),
- KH Mahrus Aly (ulama Jatim),
- H. Nuddin Lubis (partai),
- Dr. KH Idham Cholid (ulama datang terakhir).
Upacara tahlil dan shalat jenazah juga dilakukan kembali di samping makam.
Kesaksian Para Tokoh
- KH Yusuf Hasyim (Tebuireng): “Kiai Bisri melaksanakan ilmu dengan konsekuen, berpandangan luas, dan berpikiran pemimpin.”
- Buya HAMKA (MUI): “Ulama yang selalu membaca Al-Qur’an, bahkan saat berjalan.”
- Menteri Agama H. Alamsyah: “Beliau sulit dicari penggantinya dari 145 juta penduduk Indonesia.”
- KH Mahrus Aly: “Sering dimintai nasihat Presiden Soeharto.”
- H. AR Fakhruddin (Muhammadiyah): “Tempat banyak orang bertanya dan meminta fatwa.”
- Tengku H.M. Sholeh (DPR RI): “Sederhana, tidak berlebih-lebihan, dan bijak.”
- KH Hasan Basri (MUI): “Ulama besar yang jasanya luar biasa.”
Penutup
Gus Dur menulis dalam Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat:
“Kiai Bisri adalah orang besar karena hidup dalam ketundukan total pada hukum fiqih. Dengan kewafatannya, hilang pula tonggak besar dari angkatan ulama yang mampu menerapkan fiqh secara tuntas.”
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- PBNU Resmikan Kepengurusan Idaroh Aliyah JATMAN Periode 2025–2030: Komitmen Baru Jalankan Khidmat Thariqah