NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 12, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Sosok KH Ali Yafie di Muktamar NU Ke-28

NU MEDIA JATI AGUNG, – Nama KH Ali Yafie mencuat sebagai kandidat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar Ke-28 NU di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, akhir 1989. Saat itu, panitia muktamar menempatkannya sebagai salah satu alternatif selain KH Achmad Siddiq dan KH MA Sahal Mahfudh. Tokoh asal Sulawesi Selatan tersebut sudah dikenal luas sebagai intelektual NU dan ahli fiqih.

Tempo edisi 2 Desember 1989 mencatat:

“Nama lain yang masyarakat sebut sebagai calon rais aam adalah Kiai Ali Yafie, 63 tahun, santri asal Donggala, Sulawesi Selatan. Ali Yafie kini mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan Universitas As-Syafi’iyah Jakarta. Pada kepengurusan lalu, ia membantu Kiai Siddiq di lembaga syuriyah. Kendati tak memiliki basis pesantren, mantan anggota DPR dari F-PP itu masyarakat kenal sebagai intelektual NU dan ahli fiqih.”

KH Idham Chalid turut mendorongnya untuk meneruskan perjuangan KH Achmad Siddiq memimpin NU, sebagaimana Tempo mengutip:

“Idham yang baru terpilih kembali sebagai ketua umum Jamiyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, perkumpulan tarekat NU, di Mranggen, Demak, Jawa Tengah 24 November lalu, sudah menegaskan bahwa ia tidak ingin dipilih di Muktamar NU ini. Hanya saja, menurut sumber Tempo, ia ingin memperjuangkan KH Ali Yafie sebagai pengganti Kiai Siddiq.”

Menjadi Rais Aam PBNU

Meski namanya kuat diperbincangkan, Muktamar Ke-28 NU akhirnya menetapkan KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU. KH Ali Yafie, yang seusia dengan KH Achmad Siddiq, terpilih sebagai Wakil Rais Aam PBNU.

Ketika KH Achmad Siddiq wafat pada 23 Januari 1991, KH Ali Yafie meneruskan kepemimpinan tertinggi NU. Namun, ia memilih mundur dari jabatan Rais Aam PBNU setahun kemudian karena prinsipnya terkait kasus SDSB. Posisi tersebut kemudian diteruskan oleh KH Moh Ilyas Ruhiat pada Munas Alim Ulama di Lampung, Januari 1992.

Karier Politik dan Organisasi

Sejak muda, KH Ali Yafie aktif di NU wilayah Sulawesi. Ia terpilih sebagai anggota DPRD mewakili Fraksi NU pada Pemilu 1955 dan menjadi Rais Syuriyah PCNU Parepare. Di tingkat provinsi, ia menjabat Rais Syuriyah PWNU Sulawesi Selatan.

Pada Pemilu 1971, ia terpilih menjadi anggota DPR RI melalui Fraksi NU. Saat NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, ia juga menjadi Rais Majelis Syura PPP.

Sejak 1971, ia aktif di PBNU sebagai Rais Syuriyah, berkat kemampuannya yang diakui di bidang fiqih dan kepemimpinan.

Kiprah di Dunia Akademik

Meskipun berkecimpung di dunia politik, KH Ali Yafie tetap menaruh perhatian besar pada pendidikan. Ia mengajar di Universitas Islam As-Syafi’iyah, PTIQ Jakarta, dan IIQ Jakarta. Selain itu, ia juga memimpin IIQ Jakarta sebagai rektor (2002–2005) menggantikan Prof KH Ibrahim Hosen.

Sebelum pindah ke Jakarta, ia mengabdikan diri di IAIN Alauddin Makassar dan IAIN Ujung Pandang. Di kampus terakhir itu, ia bahkan menjabat sebagai rektor.

Bagi KH Ali Yafie, membaca menjadi kewajiban mutlak. Pandangan tersebut ia sampaikan langsung pada NU Online pada Juni 2021.

Pendidikan dan Guru-Guru KH Ali Yafie

KH Ali Yafie menimba ilmu sejak muda kepada banyak ulama di Sulawesi Selatan, di antaranya:

  • Pesantren Ainur Rofiq, Sidenreng, Rappang (Syekh Ali Mathar)

  • Pesantren Syekh Ibrahim, Sidenreng, Rappang

  • Syekh Mahmud Abdul Jawad, Bone

  • Syekh Ahmad, Bone

  • Syekh Abdurrahman Firdaus, Pinrang

  • Darud Da’wah wal Irsyad, Singkang, Wajo (Syekh Muhammad As’ad Abdurrasyid)

Peran di Birokrasi dan Organisasi Masyarakat

Ia memulai karier birokrasi sebagai Kepala KUA Goa, kemudian melanjutkan pengabdiannya sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan (1959–1962), hingga menjabat Kepala Inspektorat Peradilan Agama Indonesia Timur (1962–1965).

Seiring dengan kiprah di birokrasi, ia juga aktif di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) sejak zaman Jepang. Dalam organisasi tersebut, ia menjabat Sekretaris Umum DDI (1957–1963) dan kemudian memimpin sebagai Ketua Umum (1963–1966).

Ketua Umum MUI dan Akhir Hayat

KH Ali Yafie memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1998–2000. Setelah masa kepemimpinannya berakhir dan mempertimbangkan usianya yang lanjut, ia memilih tidak mencalonkan kembali, sehingga KH MA Sahal Mahfudh menggantikannya.

Setelah perjalanan panjangnya di dunia keulamaan, KH Ali Yafie yang lahir di Desa Wanidonggala, Donggala, Sulawesi Selatan, pada 1 September 1926, akhirnya wafat di Tangerang Selatan pada Sabtu (25/2/2023) dalam usia 96 tahun.