
Kiai, sastrawan, dan pelukis, serta selama beberapa periode menjadi Rais Syuriyah PBNU, Wakil Rais Aam Syuriyah PBNU (2010–2014), dan Pj Rais Aam PBNU (2014–2015).
Ahmad Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Sebagaimana santri pada zamannya, Gus Mus, demikian panggilan akrabnya, menjadi santri kelana di beberapa pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan Raudlatuth Tholibin Leteh, Rembang, pesantren ayahnya sendiri. Ia kemudian belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Selama di Mesir, ia menjadi sahabat karib Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sejak pulang dari Kairo, Gus Mus kembali ke Rembang dan ikut mengelola Pesantren Raudlatuth Tholibin dan kini menjadi pimpinannya. Sebagai kiai, ia aktif memberikan ceramah ke berbagai daerah dan rajin menerjemah karya-karya keagamaan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Karya-karya terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain:
- Dasar-dasar Islam (1401 H)
- Ensiklopedi Ijma’ (bersama KH MA Sahal Mahfudh, 1987)
- Kimiya-us Sa’aadah (bahasa Jawa, Penerbit Assegaf Surabaya)
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit al-Huda Temanggung)
- Mahakiai Hasyim Asy’ari (1996)
- Metode Tasawuf al-Ghazali (1996)
- al-Muna (1997)
Ia juga rajin menulis esai sosial keagamaan yang sebagian telah diterbitkan, seperti:
- Mutiara-Mutiara Benjol (1994)
- Saleh Ritual Saleh Sosial (1995)
- Pesan Islam Sehari-hari (1997)
- Fikih Keseharian I-II (1997)
Menembus Dinding Pesantren
Di luar statusnya sebagai kiai, nama Gus Mus terkenal melampaui dinding-dinding pesantren dan lingkaran NU, yaitu sebagai seorang penyair, cerpenis, dan pelukis. Puisi-puisinya mengandung sindiran sosial dan politik yang lucu tapi tajam, pedas tapi tidak menyakitkan, sederhana tapi mengena. Salah satunya yang terkenal berjudul “Kau Ini Bagaimana atawa Aku Harus Bagaimana”. Berikut petikannya:
Kau ini bagaimana?
kau bilang aku merdeka,
kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir
kau tuduh aku kafir
aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah, aku bergerak
kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja
kecurigai
kau ini bagaimana?
Ditulis pada era Orde Baru yang otoriter, puisi-puisi Gus Mus terutama yang terangkum dalam Antologi Ohoi (1991) bersanding dengan puisi-puisi protes W.S. Rendra dan Wiji Thukul, kerap dibacakan kalangan aktivis mahasiswa dan LSM dalam aksi-aksi protes.
Gus Mus menamai puisi-puisinya sebagai “puisi-puisi balsem”, metafora yang menunjukkan nilai paradoks dari puisi tersebut: panas tapi dibutuhkan, nyelekit tapi tidak bikin sakit.
Setelah kumpulan puisi Ohoi, Gus Mus melahirkan setidaknya tujuh kumpulan puisi:
- Tadarus, Antologi Puisi (1993)
- Wekwekwek: Sajak-sajak Bumi Langit (1993)
- Rubaiyat Angin dan Rumput (1995)
- Pahlawan dan Tikus (1995)
- Gelap Berlapis-lapis (tanpa tahun)
- Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (2000)
- Negeri Daging (2002)
Karakter dan Ciri Puisi Gus Mus
Karakter umum puisi Gus Mus adalah penggunaan bahasa sehari-hari dan gaya pengucapan lugas. Tetapi, di balik kesederhanaannya terkandung makna dalam dan tajam, disebut juga “kesederhanaan yang mengelabui” (deceptive simplicity). Selain itu, puisinya sering menggunakan diksi keagamaan dalam membahas masalah sosial, sehingga sering kali disangka religius padahal bersifat sosial.
Namun demikian, puisi Gus Mus juga memiliki muatan sufistik, seperti dalam “Persaksian” dari antologi Sajak-Sajak Cinta: Gandrung berikut:
Aku bersaksi
tiada kekasih
kecuali kau
Aku bersaksi
tiada kekasih
kecuali kasihmu
Aku bersaksi
tiada rindu
kecuali rinduku
kepadamu
Aku bersaksi
hanya kepadamu
kasihku
hanya kepadamu
Sajak ini mengingatkan pada bait-bait sajak sufistik Rumi atau Hafidz. Gus Mus memang akrab dengan syair-syair sufistik yang menyoal prinsip tauhid, ke-“ada”-an Tuhan, gagasan fana-baqa, hingga kebebasan manusia.
Awal Mengakrabi Puisi
Gus Mus mulai menekuni puisi saat belajar di Kairo. Saat itu, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Mesir membuat majalah. Salah satu pengasuhnya adalah Gus Dur. Bila ada halaman kosong, Gus Mus diminta mengisinya dengan puisi dan ilustrasi.
Pada 1987, saat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gus Dur menggelar acara “Malam Palestina”. Ia mengundang Gus Mus untuk membacakan puisi karya penyair Timur Tengah dan puisinya sendiri. Sejak saat itu Gus Mus makin aktif bergaul dengan para penyair.
Cerpenis
Selain sebagai penyair, Gus Mus juga menulis cerpen. Cerpennya “Gus Jakfar” masuk sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas tahun 2003. Cerpen-cerpennya yang tersebar di berbagai media massa telah dikumpulkan dalam buku Lukisan Kaligrafi (2003) yang menerima Hadiah Sastra Mastera 2005 dari Pemerintah Malaysia.
Ceritanya berlatar dunia pesantren dan pedesaan, menyentuh pergeseran nilai sosial, serta menyindir mereka yang merasa paling benar dalam memahami realitas.
Seorang Pelukis
Gus Mus juga dikenal sebagai pelukis. Kemampuannya ini diasah sejak nyantri di Krapyak. Ia diam-diam sering menyaksikan maestro lukis Affandi melukis.
Ia beberapa kali menggelar pameran lukisan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan kota lain. Lukisannya Berdzikir Bersama Inul sempat dipamerkan di Masjid Al-Akbar Surabaya (MAS) pada 4–8 Maret 2003. Lukisan ini menuai kontroversi karena dianggap membela Inul yang saat itu tengah dikritik karena “goyang ngebornya”. Namun, lukisan itu justru menyindir hipokrisi masyarakat.
Diakui sebagai Seniman dan Cendekia
Karya seni Gus Mus telah banyak menjadi subjek penelitian. Ia juga kerap diundang ke mancanegara untuk membaca puisi atau memberikan ceramah.
Pada 30 Mei 2009, Gus Mus memperoleh gelar doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pidato penganugerahan, ia menyampaikan pemikiran berjudul Mengkaji Ulang Beberapa Konsep Keislaman sebagai Mukaddimah Reformasi Keberagaman untuk Mengembalikan Keindahan Islam.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan