NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 16, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Kiprah Ulama Betawi yang Karismatik

NU MEDIA JATI AGUNG, – KH Abdurrahman Nawi termasuk ulama karismatik asal Betawi yang terkenal karena menguasai ilmu Nahwu. Ia menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta periode 1992–1996. Ia lahir di Tebet Melayu Besar, Jakarta Barat, pada 27 Rabiul Awwal 1339 H atau 8 Desember 1920. Kedua orang tuanya, H. Nawi bin Su’id dan ‘Ainin binti Rudin, merupakan pedagang nasi ulam yang taat beragama.

Bagi Abdurrahman, kedua orang tuanya berperan penting dalam menanamkan ketaatan beragama dan kecintaan kepada ulama.

Sanad Keilmuan yang Luas

Sejak kecil, Abdurrahman aktif mengaji di berbagai majelis taklim sekitar rumahnya. Awalnya, ia mempelajari bacaan Al-Qur’an, dasar aqidah, dan praktik ibadah dari Muallim Ghazali serta Muallim Syarbini. Saat remaja, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya dengan berguru kepada banyak kiai dan habib, di antaranya KH Muhammad Yunus, KH Basri Hamdani, KH Muhammad Ramli, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.

Ia juga menimba ilmu dari KH Muhammad Zain bin Said, KH M. Arsyad bin Musthofa, KH Mahmud, KH Musannif, KH Ahmad Djunaedi, KH Abdullah Husein, KH Abdullah Syafi’i, Habib Husein al-Haddad, dan KH Abdurrahman Tua. Selain itu, ia belajar kepada KH Hasbiallah, KH Muallim, KH Khalid, Habib Ali Jamalullail, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Habib Abdullah bin Salim al-Attas, Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad, Habib Ali bin Husein al-Attas, Habib Salim bin Jindan, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, KH Ahmad Marzuki bin Mirshod, Ustaz Abdullah Arifin, dan KH Ali Yafie.

Pernikahan Muda dan Rutinitas Mengaji

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdurrahman menikah dengan Hasanah binti H. Hasbi. Walaupun menikah di usia muda, ia tetap mempertahankan semangatnya untuk mengaji. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia pun berdagang sambil terus menuntut ilmu. Selama kurang lebih 25 tahun, ia konsisten menimba ilmu kepada para guru di tanah Betawi.

Bahkan, meskipun ia tidak mondok di pesantren, metode ngaji kalong yang ia jalani justru memberinya pemahaman ilmu yang setara, bahkan melampaui banyak santri pesantren.

Ujian Terbuka dan Pengakuan Ilmu

Pada suatu ujian terbuka yang dipimpin Kiai Abdurrahman Tua di Kampung Melayu, hanya dua peserta dari puluhan orang yang berhasil lulus, dan salah satunya adalah Abdurrahman Nawi. Oleh karena itu, pengakuan tersebut menjadi titik penting dalam perjalanan ilmunya.

Mendirikan Majelis Taklim dan Pesantren

Pada tahun 1962, ia memulai dakwah dengan membuka pengajian di rumahnya, Jalan Tebet Barat VI H, yang diberi nama As-Salafiah. Selanjutnya, pada 1976, majelis ini berkembang pesat hingga mampu membuka cabang di berbagai tempat.

Pada tahun yang sama, ia juga mengajak jamaah membangun gedung sekolah dua lantai di atas tanah pribadinya, ditambah dengan tanah mushala hasil wakaf orang tuanya. Kemudian, pada 1979, KH Idham Chalid meresmikan gedung tersebut sekaligus mengganti namanya menjadi Al-Awwabin.

Seiring bertambahnya jumlah santri, pada 1982/83 ia membangun Pondok Pesantren Al-Awwabin di Pancoran Mas, Depok. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1989, pembangunan pesantren putri Al-Awwabin cabang II di Perigi Bedahan pun dimulai.

Keahlian dalam Ilmu Nahwu

Abdurrahman Nawi dikenal luas sebagai ahli gramatika Arab. Setiap kali ia memimpin pengajian, ia selalu mengisinya dengan diskusi Nahwu. Jamaah bahkan menjulukinya Syibawaih fi Zamanih (Imam Syibawaih di masanya). KH Ubaidillah Hamdan pernah bercerita bahwa ketika Abdurrahman Nawi datang mengajar di Masjid As-Syafi’iyah, para ulama menyambutnya dengan sebutan “ja’a Syibawaih” (telah datang Syibawaih).

Kiprah di NU dan Dunia Dakwah

KH Abdurrahman Nawi mengasuh banyak majelis taklim di Jakarta dan sekitarnya. Pada 1971–1978, ia menjabat sebagai koordinator dakwah majelis taklim pusat umat Islam Attahiriyah. Pada 1982–2010, ia aktif mengisi taklim Angkasa di Radio As-Syafi’iyah. Sejak 1984, ia bertugas sebagai khatib di Masjid Baiturrahim Istana Negara.

Awal 2000-an, ia bersama tokoh-tokoh lain membentuk PUAADI (Persatuan Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Asatidz dan Da’i Islam Indonesia). Dalam NU, ia secara rutin mengajar di pengajian bulanan PBNU sejak 1989 dan menghadiri Muktamar NU di Surabaya (1971) serta Semarang (1979). SK PBNU tahun 1992 menetapkan dirinya sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta periode 1992–1996.

Pada kerusuhan Mei 1998, ia datang ke Istana Negara bersama KH Ali Yafie dan tokoh NU lainnya untuk meminta Presiden Soeharto mundur.

Karya Tulis

KH Abdurrahman Nawi menulis 12 kitab dalam bahasa Arab Pegon/Melayu, di antaranya Ilmu Nahwu Melayu, Sullam al-Ibad, Tujuh Kaifiyat, Tiga Kaifiyat, Mutiara Ramadhan, Pedoman Ziarah Kubur, Fadhilah Puasa Haji dan Ahkam al-Udhiyah, Pelajaran Ilmu Tajwid, Risalah Tahajjud, Misykah al-Anwar fi Haflati an-Nabi al-Mukhtar, Al-Qaul al-Hatsis, dan Manasik al-Haj wa al-Umrah.

Wafatnya Sang Ulama

KH Abdurrahman Nawi wafat pada Senin, 21 Rabiul Awwal 1441 H atau 18 November 2021 di Pesantren Al-Awwabin, Depok. Saat kondisinya kritis di RS Bhakti Yudha, ia meminta anak-anaknya membawanya pulang ke pesantren. Tak lama setelah tiba, ia menghembuskan napas terakhir pukul 13.35 WIB, dan keluarga serta murid menyaksikan detik-detik wafatnya. Keesokan harinya, mereka memakamkannya di Pesantren Al-Awwabin Putri.