LAMPUNG, NU MEDIA JATI AGUNG, – Tujuh Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang terlibat dalam kasus bom molotov saat aksi demonstrasi di Bandar Lampung menjalani program pembinaan di pesantren. Polisi, jaksa, dan lembaga terkait sepakat menggunakan mekanisme diversi agar mereka tidak menjalani hukuman penjara.
PBH PERADI Bandar Lampung Dampingi Proses Hukum
Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI Bandar Lampung mendapat mandat resmi untuk mendampingi tujuh ABH sejak tahap awal penyidikan. Penunjukan itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Ali Akbar, S.H., M.H., selaku Ketua PBH PERADI Bandar Lampung, menegaskan bahwa pihaknya menjalankan kewajiban hukum sesuai ketentuan.
“Pendampingan ini sesuai amanat UU SPPA, dan upaya penegak hukum harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, termasuk fasilitasi diversi,” ujar Ali Akbar, Kamis (2/10).
PBH PERADI memastikan seluruh proses berjalan transparan. Mereka juga berkomitmen melibatkan keluarga agar anak-anak tersebut memperoleh dukungan penuh.
Kronologi Penangkapan Saat Demonstrasi
Kasus ini bermula pada 1 September 2025 ketika massa aksi Aliansi Lampung Melawan berunjuk rasa di halaman DPRD Provinsi Lampung. Aksi berjalan kondusif setelah perwakilan massa bertemu Gubernur Lampung dan Ketua DPRD.
Namun, situasi berubah saat aparat TNI menangkap tiga pemuda di Jalan Radin Intan, Tanjung Karang Pusat. Mereka kedapatan membawa bom molotov. Identitas ketiga pemuda itu berinisial JF (23), RMA (16), dan RR (14). Setelah penangkapan, ketiganya diserahkan kepada Polresta Bandar Lampung.
Tidak lama kemudian, tim Resmob Polda Lampung menangkap lima orang lain secara terpisah. Mereka berinisial KP (12), RH (16), RF (16), MR (14), dan MHS (16). Berdasarkan pemeriksaan, kelompok ini diduga merakit bom molotov di sebuah warnet. Aparat menduga rencana mereka menargetkan gedung DPRD sebagai lokasi peledakan.
Diversi Jadi Solusi
Karena mayoritas pelaku berusia anak-anak, penegak hukum menerapkan mekanisme diversi sesuai SPPA. Diversi bertujuan melindungi hak anak dan memberikan jalan keluar selain penjara.
Proses diversi dipimpin penyidik Reknata Polda Lampung. Dalam proses itu hadir Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung, Pekerja Sosial, dan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak. Setelah melalui pembahasan panjang, seluruh pihak sepakat mengirim tujuh ABH ke pesantren rujukan selama tiga bulan.
Pengadilan mengesahkan hasil diversi pada 1 Oktober 2025. Petugas Balai Pemasyarakatan kemudian menyerahkan anak-anak tersebut ke pengurus pesantren. Penyerahan berlangsung dengan pendampingan orang tua dan kuasa hukum dari PBH PERADI Bandar Lampung.
Masa Pembinaan di Pesantren
Selama tiga bulan, ketujuh ABH akan mengikuti pendidikan dan pembinaan intensif. Pengurus pesantren menyiapkan program disiplin, penguatan akhlak, serta evaluasi berkala. Pendampingan hukum tetap berjalan agar anak-anak memperoleh perlindungan maksimal.
PBH PERADI menilai, lingkungan pesantren dapat memberikan ruang introspeksi lebih baik dibandingkan lembaga pemasyarakatan. Program ini juga selaras dengan tujuan diversi yang menekankan pemulihan, bukan balas dendam.
Pesan Moral dari PERADI
Ketua DPC PERADI Bandar Lampung, H. Bey Sujarwo, S.H., M.H., menyampaikan pesan melalui perwakilan PBH. Ia menekankan pentingnya kesadaran anak-anak itu untuk memanfaatkan kesempatan ini.
“Mengakui kesalahan adalah langkah berat namun penting. Perbaiki diri—itu balas dendam terbaik,” ujar Bey.
Ia berharap anak-anak patuh pada aturan pesantren dan serius belajar. Dengan demikian, mereka dapat menata ulang masa depan dan tidak mengulangi kesalahan serupa.
Konteks Hukum Perlindungan Anak
Kasus ini kembali menegaskan pentingnya penerapan SPPA di Indonesia. Undang-undang tersebut mengatur bahwa anak-anak harus mendapatkan perlakuan khusus ketika berhadapan dengan hukum. Tujuannya melindungi perkembangan psikologis serta mencegah efek negatif dari hukuman penjara.
Melalui diversi, aparat hukum dapat menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif. Anak-anak diarahkan memperbaiki kesalahan, bukan sekadar menjalani hukuman.
Kasus bom molotov ini menjadi contoh nyata bahwa koordinasi lintas lembaga mampu menghadirkan solusi bijak. Dengan program pesantren, anak-anak tetap belajar tanggung jawab sekaligus memperoleh pendidikan.
Harapan Ke Depan
Masyarakat menaruh harapan besar agar ketujuh ABH berubah menjadi pribadi lebih baik. Orang tua juga diingatkan untuk lebih ketat mengawasi aktivitas anak. Sementara itu, aparat penegak hukum diminta terus mengutamakan pendekatan humanis pada kasus serupa.
Kasus ini juga memberi pelajaran penting bagi masyarakat luas. Anak-anak memerlukan bimbingan yang tepat agar tidak mudah terprovokasi dalam situasi politik maupun sosial. Lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas wajib hadir sebagai benteng awal.
Melalui langkah diversi, negara menunjukkan komitmen melindungi masa depan generasi muda. Walau kasus ini berat, solusi pembinaan di pesantren memberi peluang nyata bagi anak-anak untuk bangkit dan memperbaiki hidup.