NU MEDIA JATI AGUNG

NU MEDIA JATI AGUNG
Logo NU Jatiagung

NU Jatiagung - Situs Resmi

Jejak Intelektual KH Abdullah bin Nuh, Pendiri Pesantren al-Ghazali Bogor

KH Abdullah bin Nuh lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905. Ia dikenal sebagai ulama kharismatik sekaligus intelektual produktif yang mendirikan Pesantren al-Ghazali Bogor. Sepanjang hidupnya, ia berkiprah dalam pendidikan, literasi, dan perjuangan kemerdekaan.

Masa Kecil dan Pendidikan Awal

NU MEDIA JATI AGUNG, – Sejak kecil, KH Abdullah bin Nuh menimba ilmu di Madrasah al-I’anah Cianjur. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Syamailul Huda Pekalongan. Kedua lembaga ini memberinya fondasi keilmuan yang kuat.

Selain itu, bakatnya dalam bidang sastra Arab sudah muncul sejak usia 13 tahun. Saat itu, karya tulis dan syairnya terbit di sebuah majalah berbahasa Arab di Surabaya. Dengan demikian, sejak remaja ia sudah menunjukkan kapasitas intelektual yang menonjol.

Studi di Timur Tengah

Pada 1926, Abdullah berangkat ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Ia memilih mendalami fiqih Mazhab Syafi’i secara serius. Kemudian, ia meraih gelar Syahadatul ‘Alimiyyah. Gelar tersebut memberinya wewenang penuh untuk mengajar ilmu-ilmu keislaman.

Selain itu, kehidupannya di Kairo juga memperluas wawasan internasionalnya. Ia berinteraksi dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Karena itu, wawasannya berkembang jauh melampaui batas lokal.

Kiprah di Masa Perjuangan

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Abdullah memilih bergabung dengan PETA dan Laskar Hizbullah. Keputusan itu menunjukkan sikap patriotiknya. Selanjutnya, setelah proklamasi kemerdekaan, ia memimpin BKR.

Di sisi lain, ia juga aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu, ia menjabat Kepala Siaran Bahasa Arab di RRI Yogyakarta. Pada saat yang sama, ia menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia (UII). Kampus tersebut ia dirikan bersama tokoh nasional lainnya.

Dengan demikian, perannya tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik. Ia juga berkontribusi dalam bidang kelembagaan, pendidikan, dan media.

Perjalanan Karier di Jakarta

Pada 1950, Abdullah pindah ke Jakarta. Ia menjabat Kepala Siaran Bahasa Arab RRI Jakarta. Selain itu, ia menjadi Lektor Kepala di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jabatan ini mengokohkan posisinya sebagai akademisi sekaligus praktisi bahasa Arab.

Kemudian, pada 1969, ia memilih menetap di Bogor. Di sana, ia mendirikan majelis taklim. Selanjutnya, majelis tersebut berkembang menjadi Yayasan al-Ghazali. Lembaga pendidikan ini terus tumbuh, mulai dari tingkat TK hingga SMA. Oleh karena itu, warisan pendidikannya tetap hidup sampai kini.

Karya Tulis dan Warisan Intelektual

Sebagai penulis, KH Abdullah bin Nuh meninggalkan lebih dari 20 karya. Ia menulis dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu Arab, Indonesia, dan Sunda. Misalnya, ia menulis Ana Muslim, Kamus Indonesia-Inggris-Arab, Cinta dan Bahagia, serta Zakat dan Dunia Modern.

Selain itu, ia juga menerjemahkan Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. Terjemahan ini memudahkan umat Islam memahami karya klasik tersebut.

Selanjutnya, ia menulis kumpulan syair dalam Diwan ibn Nuh. Karya itu berisi 118 qasidah dengan total 2.731 bait. Dengan demikian, ia diakui bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai penyair yang produktif.

Akhir Hayat dan Peninggalan

KH Abdullah bin Nuh wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987. Ia meninggalkan warisan besar di bidang pendidikan, sastra, dan literasi Islam.

Oleh karena itu, masyarakat mengenangnya sebagai ulama kharismatik sekaligus intelektual muslim. Ia membuktikan bahwa seorang kiai tidak hanya berperan di pesantren. Sebaliknya, ia juga dapat memberi kontribusi luas dalam dunia akademik, media, dan pergerakan bangsa.

Selain itu, jejak intelektualnya tetap relevan hingga kini. Para santri dan generasi muda dapat belajar dari kegigihannya. Dengan demikian, KH Abdullah bin Nuh menjadi teladan ulama yang konsisten menyalurkan ilmu dan karya.

KH Abdullah bin Nuh menorehkan sejarah panjang sebagai ulama, penyair, dan pendidik. Ia berkiprah di medan perjuangan, dunia akademik, hingga karya tulis. Dengan demikian, namanya layak dikenang sebagai tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia.