NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 7, Juli 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Inti dari segala ilmu syariat terletak pada tiga disiplin ilmu, yaitu tafsir, hadits, dan fiqih. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Jilid I (Mesir, Maktabah Salafiyyah, 1970: 141) menyatakan:

وَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِ الْعِلْمُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي يُفِيدُ مَعْرِفَةَ مَا يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ مِنْ أَمْرِ عِبَادَاتِهِ وَمُعَامَلَاتِهِ، وَالْعِلْمُ بِاللَّهِ وَصِفَاتِهِ، وَمَا يَجِبُ لَهُ مِنَ الْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، وَتَنْزِيهِهِ عَنِ النَّقَائِصِ، وَمَدَارُ ذَلِكَ عَلَى التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ

Artinya, “Ilmu yang dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur’an adalah ilmu syariat. Yaitu ilmu yang berisi tentang kewajiban bagi orang mukallaf dalam beribadah (ibadah), bertransaksi (muamalah), dan berkeyakinan (tauhid). Pokok dari itu semua ada pada ilmu tafsir, hadits, dan fikih.”

Pakar Tiga Disiplin Ilmu

Oleh karena itu, di antara sekian banyak ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu sepanjang sejarah Islam, tiga ilmu tersebutlah yang paling banyak memiliki pakar. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ilmu tersebut adalah yang paling banyak ditekuni. Namun, tidak banyak yang menguasai ketiganya sekaligus.

Di antara yang sedikit itu adalah Al-Imam ‘Utsman bin ‘Abdurrahman Asy-Syahrazuri, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Shalah, seorang ulama bermadzhab Syafi’i.

Al-Imam Ibn Khallikan, seorang ulama yang ahli dalam fikih, sejarah, dan sastra, serta salah seorang murid Ibnu Shalah, menceritakan kepakaran gurunya, sebagaimana dikutip dari karya Adz-Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’ Jilid XXIII (Beirut, Mu’assasatur Risalah, 1985: 142):

وكان تقي الدين أحد فضلاء عصره في التفسير والحديث والفقه، وله مشاركة في عدة فنون، وكانت فتاويه مسددة، وهو أحد شيوخي الذين انتفعت بهم، أقمت عنده للاشتغال، ولازمته سنة

Artinya, “Syekh Taqiyuddin (Ibnu Shalah) adalah salah satu ulama terkemuka pada masanya dalam bidang tafsir, hadits, dan fiqih, serta memiliki kontribusi dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Fatwa-fatwanya selalu tepat dan bermanfaat. Dia adalah salah satu guruku yang banyak memberikan manfaat, saya tinggal bersamanya untuk belajar dan mendampinginya selama satu tahun.”

Latar Belakang dan Pendidikan

Ibnu Shalah lahir di Syarkhan, sebuah desa dekat Syahrazur, yang merupakan bagian dari kota Erbil, Irak, pada tahun 577 H. Ayahnya adalah seorang ulama ahli fikih yang menjabat sebagai mufti dan dijuluki Shalahuddin.

Nama Ibnu Shalah sendiri berasal dari nama ayahnya, yang secara harfiah berarti “putra Shalahuddin.” Ayahnya merupakan guru pertama bagi Ibnu Shalah.

Keterangan ini dikutip dari Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, Jilid XXIII, halaman 140, serta dari Nuruddin ‘Itr dalam Muqaddimah Tahqiq Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), halaman 7.

Setelah belajar dari ayahnya, Ibnu Shalah menuntut ilmu di berbagai kota: Mosul, Baghdad, Hamadan, Naisabur, Marwa, dan Damaskus. Ia belajar dari para ulama terkemuka, seperti:

  • Al-Imam Abul Muzhaffar As-Sam’ani (pakar akidah),
  • Al-Hafizh Ibn ‘Asakir (ulama madzhab Syafi’i, hadits, sejarah),
  • Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah (madzhab Hanbali).

Karier dan Keteladanan

Ibnu Shalah mulai mengajar di Madrasah Shalahiyyah (Baitul Maqdis), lalu pindah ke Damaskus, mengajar di Madrasah Rawahiyyah. Ketika Raja Al-Asyraf mendirikan Darul Hadits Al-Asyrafiyyah, Ibnu Shalah diangkat sebagai guru besar.

Ibnu Khallikan menyebut dalam Wafayatul A’yan Jilid III (Beirut, Dar Shadir, 1994: 244):

وكان من العلم والدين على قدم حسن، وقدمت عليه في أوائل شوال سنة اثنتين وثلاثين وستمائة، وأقمت عنده بدمشق ملازم الاشتغال مدة سنة

Artinya, “Ia memiliki ilmu dan agama yang sangat baik. Saya datang kepadanya pada awal bulan Syawal tahun 632 H dan tinggal bersamanya di Damaskus, mendampinginya untuk belajar selama satu tahun penuh.”

Ulama lain, ‘Umar Ibnul Hajib, menyebut dalam Siyar A’lam an-Nubala (Jilid XXIII, hlm. 142):

إِمَامٌ وَرِعٌ، وَافرُ العَقْلِ، حَسَنُ السَّمتِ، مُتبحِّرٌ فِي الأُصُوْلِ وَالفُرُوْعِ، بِالغَ فِي الطَّلَبِ حَتَّى صَارَ يُضْرَبُ بِهِ المَثَلُ، وَأَجهَدَ نَفْسَهُ فِي الطَّاعَةِ وَالعِبَادَةِ.

Artinya, “Ibnu Shalah adalah seorang imam yang wara’, cerdas, dengan perilaku yang baik, menguasai ilmu ushul dan furu’ dengan mendalam. Ia sangat giat dalam menuntut ilmu hingga menjadi contoh teladan. Ia juga sangat tekun dalam beribadah.”

Karya-Karya

Ibnu Shalah meninggalkan banyak karya penting, di antaranya:

  • Ma’rifatu Anwa’i ‘Ulumil Hadits (Muqaddimah Ibnu Shalah),
  • Al-Amali,
  • Adabul Mufti wal Mustafti,
  • Syarh Shahih Muslim,
  • Fatawa,
  • Shilatun Nasik,
  • Fawaidur Rihlah,
  • Al-Mu’talaf wal Mukhtalaf fi Asma’ir Rijal,
  • Syarh Al-Wasith.

Muqaddimah Ibnu Shalah adalah karyanya yang paling fenomenal, disampaikan saat beliau mengajar di Darul Hadits, didiktekan selama 4 tahun. Penulisan dimulai 7 Ramadhan 600 H dan selesai pada Jumat terakhir Muharram 634 H.

Kitab ini mengumpulkan warisan ilmu hadits dari ulama seperti Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Hakim, Ar-Ramahurmuzi. Ia tidak hanya menyalin, tetapi meneliti, mengkritisi, dan menyusun ulang dhawabith ilmu hadits.

Menurut Nuruddin ‘Itr dalam Muqaddimah Tahqiq Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits (hlm. 19–21), kitab ini menjadi acuan utama ulama setelahnya.

Pengakuan Ulama

Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi, dalam At-Taqyid wal Idhah (Madinah, Maktabah Salafiyyah):

فإن أحسن ما صنف أهل الحديث في معرفة الاصطلاح كتاب علوم الحديث لابن الصلاح
“Sungguh kitab ilmu hadits terbaik yang pernah ditulis adalah kitab Ibnu Shalah.”

Burhanuddin Al-Abnasi, dalam Asy-Syadzal Fayyah (Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd, 1998: 63):

“Kitab ilmu hadits terbaik, terindah, paling banyak faidah dan manfaatnya adalah kitab ‘Ulumul Hadits karya Syekh ‘Allamah Al-Hafizh Taqiyuddin Abu ‘Amr Ibnu Shalah.”

Badruddin Az-Zarkasyi, dalam An-Nukat Jilid I:

“Setelah para ulama tersebut, datanglah Imam Abu ‘Amr Ibnu Shalah, beliau mengumpulkan ilmu para pendahulunya yang tersebar di berbagai kitab dan meneliti pendapat-pendapatnya. Lalu beliau menulis kitab yang penuh keindahan yang menakjubkan, faidah-faidah, dan ilmu-ilmu pilihan, hingga kitab tersebut layak ditulis dengan tinta emas.”

Wafat

Ibnu Shalah wafat pada Rabu, 25 Rabi’ul Akhir 643 H, setelah hidupnya diisi dengan ilmu dan ibadah. Ia meninggalkan warisan keilmuan besar yang terus dijadikan rujukan oleh generasi setelahnya.