NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 21, Agustus 2025   |   ✍️ Wawan Hidayat

Fenomena Duck Syndrome

YOGYAKARTA, NU MEDIA JATI AGUNG, – Istilah duck syndrome semakin sering muncul ketika orang membahas kesehatan mental mahasiswa. Selain itu, kata kunci duck syndrome menggambarkan kondisi seseorang yang tampak tenang, percaya diri, dan produktif di permukaan, namun sebenarnya ia berjuang keras menghadapi stres, tekanan, dan kelelahan yang tersembunyi.

Di sisi lain, kehidupan kampus membuat fenomena ini terlihat semakin nyata. Mahasiswa tampak bersemangat mengejar prestasi akademik, aktif berorganisasi, serta membangun jejaring sosial. Meskipun begitu, banyak mahasiswa diam-diam menanggung tekanan mental yang berat.

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Anisa Yuliandri, menjelaskan bahwa Stanford University pertama kali memperkenalkan istilah duck syndrome. Mahasiswa di sana terlihat tenang dan penuh percaya diri, tetapi sebenarnya mereka menghadapi tekanan akademik maupun sosial yang kuat.

Kini, fenomena itu tidak hanya muncul di kampus luar negeri. Sebaliknya, mahasiswa di berbagai perguruan tinggi Indonesia juga mengalami kondisi serupa.

Tekanan Akademik dan Sosial yang Tinggi

Mahasiswa sering merasa harus memenuhi berbagai ekspektasi dari diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Sebagai contoh, mereka harus menjaga Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tetap tinggi, mengikuti berbagai organisasi, menjalani magang, ikut lomba, dan tetap aktif di media sosial.

Menurut Anisa, kondisi itu mendorong mahasiswa untuk mengambil semua kesempatan agar orang lain tidak menilai mereka malas atau tidak kompetitif. Oleh karena itu, banyak mahasiswa merasa takut tertinggal jika tidak ikut berbagai kegiatan.

Kaitan dengan Teori Psikologi

Self-Determination Theory

Anisa mengaitkan fenomena duck syndrome dengan Self-Determination Theory, yaitu teori motivasi yang menekankan tiga kebutuhan psikologis dasar manusia. Pertama, autonomy (rasa kendali terhadap pilihan hidup). Kedua, competence (rasa mampu dan berprestasi). Ketiga, relatedness (rasa terhubung dengan orang lain).

Dengan demikian, ketika mahasiswa mengambil keputusan karena tekanan eksternal, bukan karena keinginan pribadi, keseimbangan psikologis mereka menjadi terganggu.

Impression Management Theory

Selain itu, Anisa juga menyinggung Impression Management Theory. Teori ini menjelaskan cara seseorang mengatur citra diri agar terlihat mampu dan kuat. Media sosial semakin memperkuat kondisi ini. Akibatnya, banyak mahasiswa berusaha menampilkan sisi positif, seperti pencapaian akademik, pengalaman kerja, dan kegiatan sosial.

“Padahal, di balik layar, mereka merasa sangat lelah. Namun, demi mempertahankan citra, mereka memilih memendam semua kesulitan,” kata Anisa.

Faktor Budaya dan Tekanan Sosial

Budaya ‘Baik-baik Saja’

Masyarakat sering menuntut mahasiswa untuk selalu terlihat baik-baik saja. Sayangnya, banyak orang menganggap kelemahan atau kelelahan sebagai tanda ketidakmampuan. Sebagai akibatnya, mahasiswa menekan emosi mereka.

“Padahal kita manusia biasa, punya batas. Tetapi, karena ingin mempertahankan citra sempurna, mereka akhirnya memendam semuanya sendiri,” ujar Anisa.

Peran Media Sosial

Media sosial semakin menambah tekanan psikologis. Ketika timeline dipenuhi prestasi orang lain, mahasiswa merasa tertinggal. Oleh sebab itu, rasa takut kalah bersinar membuat mereka tampil seolah produktif, meskipun kelelahan sudah menguasai.

Dampak Duck Syndrome bagi Kesehatan Mental

Fenomena duck syndrome menimbulkan dampak serius. Menurut Anisa, kondisi ini berbahaya karena orang lain tidak bisa melihat gejalanya secara langsung. Akibatnya, mahasiswa yang terus menekan emosi dan memaksakan diri rentan mengalami gangguan berat, seperti:

  • Kecemasan kronis
  • Burnout
  • Insomnia
  • Depresi

 

Jika dibiarkan, tekanan yang hadir terus-menerus tanpa solusi jelas berpotensi merusak kesehatan mental mahasiswa dalam jangka panjang.

Cara Mengatasi Duck Syndrome

Jujur pada Diri Sendiri

Langkah pertama yang Anisa sarankan yaitu kejujuran pada diri sendiri. Oleh karena itu, mahasiswa perlu berani mengakui bahwa mereka tidak selalu baik-baik saja. “It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia,” katanya.

Mengelola Ekspektasi

Langkah berikutnya, mahasiswa perlu mengatur ekspektasi dari diri sendiri maupun orang lain. Artinya, mereka harus sadar bahwa tidak semua standar wajib dipenuhi dan tidak semua peran harus dijalani.

“Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah menjadi keterampilan penting,” tambah Anisa.

Mencari Dukungan

Selain itu, mahasiswa juga perlu mencari dukungan sosial. Mereka bisa bergabung dengan lingkungan aman, baik bersama teman, keluarga, maupun layanan konseling kampus. Dengan begitu, mahasiswa bisa mengelola tekanan mental dengan lebih sehat.

Kesadaran Kolektif Penting untuk Dibangun

Fenomena duck syndrome tidak hanya menyangkut masalah individu, tetapi juga masalah kolektif dalam dunia pendidikan. Karena itu, budaya kompetitif yang berlebihan, tuntutan sosial, dan ekspektasi tinggi perlu diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.

Akhirnya, kampus, organisasi mahasiswa, dan keluarga harus menyediakan ruang aman agar mahasiswa bisa berkembang tanpa tekanan berlebihan.