
Kritik Penggunaan Dana Desa Sebagai Jaminan
JAKARTA, NU MEDIA JATI AGUNG – Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, mengecam langkah pemerintah pusat. Ia menilai pemerintah telah memanfaatkan dana desa untuk menutup kekurangan angsuran pinjaman Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa tindakan ini melanggar prinsip otonomi desa.
“Penggunaan dana desa sebagai penjamin kredit macet untuk Koperasi Desa Merah Putih jelas melanggar otoritas desa. KDMP itu badan hukum privat, bukan badan hukum publik,” kata Suroto.
Penetapan Alokasi Dana Desa
Sebagai bagian dari mekanisme pemerintahan desa, Musyawarah Desa (Musdes) selalu menentukan penggunaan dana desa secara otonom. Maka dari itu, pemerintah pusat seharusnya tidak mengintervensi proses tersebut. Suroto juga menegaskan bahwa setiap desa wajib menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) secara mandiri.
Selain itu, ia mengingatkan agar pemerintah pusat tidak bertindak semena-mena. Tindakan seperti ini, menurutnya, jelas melanggar undang-undang.
“Pemerintah pusat tidak boleh bertindak semena-mena. Tindakan seperti ini melanggar UU,” lanjutnya.
Regulasi Pendukung dari Pemerintah Pusat
Untuk memperkuat kebijakan pinjaman koperasi, pemerintah merilis PMK Nomor 49 Tahun 2025. Regulasi ini membuka peluang koperasi desa untuk mengajukan pinjaman hingga Rp3 miliar ke bank milik negara.
Namun demikian, jika koperasi gagal membayar angsuran, maka bank memiliki wewenang untuk meminta penempatan dana tambahan. Dalam situasi tersebut, bank mengajukan surat kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) agar kekurangan angsuran pokok dan bunga bisa segera tertutup.
“Penempatan dana itu bersumber dari dana desa untuk KDMP atau dari DAU/DBH untuk KKMP,” bunyi Pasal 11 beleid tersebut.
Rencana Permendes dari Kementerian Desa
Sebagai langkah lanjutan, Kementerian Desa dan PDT kini tengah menyusun Permendes yang mengatur lebih lanjut penggunaan dana desa sebagai jaminan. Menteri PDT, Yandri Susanto, menyampaikan bahwa draf aturan tersebut sudah selesai. Bahkan, kementerian berencana meluncurkannya pada Agustus 2025.
“Permendes akan merujuk pada PMK 49 Tahun 2025. Kami akan mengatur siklus pengambilan keputusan antara Kopdes dan desa,” ujar Yandri.
Risiko yang Dihadapi Desa
Menurut Suroto, pemerintah sengaja mengalihkan risiko gagal bayar dari bank kepada masyarakat desa. Ia menilai bahwa bank BUMN menolak menanggung risiko, sebab mereka harus mematuhi prinsip kehati-hatian.
“Bank BUMN itu tidak mau menanggung risiko gagal bayar. Sayangnya, beban justru dialihkan ke masyarakat desa,” ujar Suroto.
Perhitungan Risiko dari Celios
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut mengkaji potensi risiko gagal bayar. Menurut estimasi mereka, risiko gagal bayar Koperasi Merah Putih bisa mencapai Rp85,96 triliun dalam enam tahun ke depan. Bahkan, Direktur Eksekutif Celios, Nailul Huda, menyatakan bahwa opportunity cost-nya mencapai Rp76 triliun.
“Jika dana itu disalurkan ke sektor dengan tingkat pengembalian tinggi, opportunity cost akan lebih rendah,” ujar Nailul dalam risetnya.
Walaupun pemerintah memiliki niat untuk memperkuat koperasi desa, penggunaan dana desa sebagai jaminan tetap menimbulkan kekhawatiran besar. Tidak sedikit pihak yang menilai bahwa kebijakan ini membahayakan otonomi desa serta mengancam kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengawasan ketat perlu dilakukan agar tujuan pembangunan desa bisa tercapai tanpa mengorbankan prinsip dasar otonomi.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan