NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 22, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Dzun Nun al-Mishri dan Jalan Tasawufnya

NU MEDIA JATI AGUNG, – Dzun Nun al-Mishri termasuk sufi agung yang menempuh jalan tasawuf melalui cara unik. Ia tercatat sebagai sufi pertama yang membahas konsep ma’rifat secara konseptual. Menariknya, ia tidak menemukan jalan tasawuf melalui seorang mursyid atau tekanan hidup yang berat. Sebaliknya, ia memulai perjalanan spiritual setelah menyaksikan seekor burung kecil yang lemah.

Sebelum menapaki jalan kesufian, Dzun Nun dikenal sebagai pemuda yang lalai. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Namun, Allah swt menyadarkannya melalui peristiwa sederhana yang sangat berkesan.

Kisah Pertemuan dengan Anak Burung

Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah meriwayatkan kisah pertaubatan Dzun Nun. Suatu ketika, Salim al-Magribi bertanya kepadanya tentang sebab ia bertaubat. Dzun Nun menjawab dengan teka-teki, namun akhirnya menceritakan pengalaman menakjubkan.

Peristiwa yang Mengubah Hidupnya

Dzun Nun berkata:
“Sekali waktu aku hendak pergi dari Mesir menuju sebuah kota. Aku tertidur di tanah lapang, lalu terbangun dan melihat seekor anak burung jatuh dari sangkarnya. Tiba-tiba tanah terbuka dan mengeluarkan dua wadah: satu dari emas berisi biji simsim dan satu dari perak berisi air. Burung kecil itu makan dan minum darinya.”

Melihat peristiwa itu, Dzun Nun merasa tersentuh. Ia berkata dalam hatinya, “Cukup!” dan langsung bertaubat. Ia terus memohon ampun hingga Allah menerima taubatnya.

Penegasan Ulama tentang Kisah Dzun Nun

Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar dalam al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî menegaskan bahwa kisah tersebut meski terdengar aneh, tetap masuk akal. Peristiwa itu menjadi bentuk kasih sayang Allah kepada hamba yang bertakwa.

Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS Yunus [10]: 63-64:

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan besar.”

Riwayat Hidup Dzun Nun al-Mishri

Ulama berbeda pendapat mengenai nama asli Dzun Nun. Sebagian menyebut Abul Fayd bin Ahmad, sementara yang lain menyebut Dzun Nun bin Ibrahim al-Ikhmimi. Ia lahir di Ikhmim, Mesir, pada tahun 180 H/796 M. Ia wafat pada 246 H/856 M dan dimakamkan dekat makam ‘Amr bin Ash.

Dzun Nun merupakan satu dari empat bersaudara: Dzun Nun, Dzul Kifl, Abdul Bari, dan al-Humaisa’.

Tuduhan Zindik dan Pengasingan

Dzun Nun pernah menghadapi cobaan berat. Beberapa ulama Mesir menuduhnya zindik karena pernyataannya tentang runtutan ahwal dan tingkatan para wali. Ulama Maliki, Abdullah bin Abdul Hakam, menolak pendapatnya.

Sejak itu, ia dituduh membawa ajaran baru. Tuduhan tersebut menyebabkan pengasingan. Meski demikian, catatan sejarah tetap menempatkannya sebagai sufi besar.

Nasihat Sufistik Dzun Nun al-Mishri

Sebagai sufi, Dzun Nun meninggalkan nasihat berharga. Dalam salah satu petuahnya ia menjelaskan makna istighfar:

  1. Menyesali kesalahan masa lalu.

  2. Bertekad meninggalkan maksiat.

  3. Menunaikan kewajiban Allah yang pernah ditinggalkan.

  4. Mengembalikan hak orang lain, baik berupa harta, kehormatan, atau kemaslahatan.

  5. Menjauhi makanan dan minuman yang berasal dari cara haram.

  6. Merasakan kesakitan dalam taat sebagaimana merasakan manisnya maksiat.

Ia juga berkata:

“Orang yang sudah ma’rifat tidak hanya bersedia ditempatkan dalam satu kondisi, tetapi ia menjalankan semua perintah Allah dalam segala keadaan.”

Warisan Dzun Nun al-Mishri

Kisah dan ajaran Dzun Nun al-Mishri menjadi bagian penting dalam sejarah tasawuf. Umat Islam mengenangnya bukan hanya karena kedalaman ilmu, tetapi juga karena perjalanan spiritualnya yang unik. Dari seekor burung kecil, ia belajar arti kepasrahan kepada Allah dan menapaki jalan menuju ma’rifat.