
Penolakan BPD Jati Agung terhadap Wacana Penggabungan
LAMPUNG SELATAN, NU MEDIA JATI AGUNG, – Pada momentum Hari Kemerdekaan RI, Senin (18/8/2025), sebanyak 21 Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kecamatan Jati Agung secara tegas menolak wacana masuknya wilayah mereka ke dalam administrasi Kota Bandarlampung. Oleh karena itu, mereka menyuarakan sikap itu dalam sebuah pertemuan penting di Sekretariat Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Bandar Negara, Jalan Airan Raya No. 13, Desa Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan.
Seluruh Ketua BPD hadir bersama Panitia Pemekaran DOB Kabupaten Bandar Negara. Dengan demikian, mereka menyatukan suara bahwa Kecamatan Jati Agung harus menempuh jalur perjuangan sendiri, bukan melebur ke Kota Bandarlampung.
Latar Belakang Wacana Penggabungan Desa
Dalam beberapa bulan terakhir, isu mengenai penggabungan 11 hingga 12 desa dari Kecamatan Jati Agung ke Kota Bandarlampung semakin ramai diperbincangkan. Sebagian pihak menilai langkah itu bisa memperkuat struktur Kota Bandarlampung. Namun demikian, isu tersebut langsung menuai penolakan keras dari Ketua BPD Jati Agung.
Ketua Panitia Pemekaran DOB Kabupaten Bandar Negara, Irfan Nuranda Djafar, memimpin forum musyawarah. Secara tegas, ia menyatakan bahwa memasukkan desa-desa Jati Agung ke dalam Kota Bandarlampung tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu, seluruh Ketua BPD kemudian menguatkan pandangan itu, sehingga wacana penggabungan kehilangan legitimasi di kalangan warga Jati Agung.
Aspirasi Menuju Kota Bandar Negara
Dalam forum tersebut, Irfan Nuranda Djafar hadir bersama Sekretaris Panitia Pemekaran, Ali Sopyan. Ia kemudian memaparkan pandangan strategis mengenai arah masa depan Jati Agung.
“Kami mewacanakan yang tadinya minta pemekaran menjadi daerah Kabupaten Bandar Negara, mulai hari ini kami ingin mekar menjadi Kota Bandar Negara. Mohon semua pihak yang berkompeten dapat menyetujui dan minta kepada bapak Gubernur Rahmat Mirzani Djausal agar wacana ini dapat direspon, sehingga ibukota Provinsi Lampung nanti berada di Kota Bandar Negara,” ujar Irfan.
Pernyataan ini, dengan kata lain, mempertegas bahwa masyarakat Jati Agung memilih jalur perjuangan untuk melahirkan daerah otonomi baru yang mandiri, bukan sekadar melebur dengan Bandarlampung.
Pertimbangan Memilih Kota, Bukan Kabupaten
Selain itu, Irfan juga menjelaskan alasan mengapa gagasan pemekaran diarahkan menjadi kota.
“Mengapa memilih dari kabupaten menjadi Kota Bandar Negara? Hal tersebut akan lebih mudah prosesnya daripada hanya beberapa desa yang masuk Kota Bandarlampung,” ucap Irfan.
Dengan demikian, ia menilai bahwa jalur pemekaran menjadi kota jauh lebih realistis sekaligus lebih menguntungkan bagi seluruh desa di Jati Agung.
Dukungan Solid dari 21 Ketua BPD
Penolakan masuk ke Kota Bandarlampung muncul sebagai hasil kesepakatan kolektif, bukan keputusan individu. Bahkan, sebanyak 21 Ketua BPD dari berbagai desa di Kecamatan Jati Agung menandatangani komitmen bersama.
Mereka terdiri dari:
- Jumari (Ketua BPD Karang Anyar)
- Khoirul Anam (Ketua BPD Purwotanu)
- Budi Sarjono (Ketua BPD Jati Mulyo)
- I Wayan (Ketua BPD Rejomulyo)
- Agus Sunardi (Ketua BPD Banjar Agung)
- Supriyono (Ketua BPD Marga Kaya)
- Ketua BPD Gedung Harapan
- Tusijo (Ketua BPD Margomulyo)
- Sukardi (Ketua BPD Margodadi)
- Sukiyoto (Ketua BPD Gedung Agung)
- Riyadi (Ketua BPD Karang Rejo)
- Budi Waluyo (Ketua BPD Sumber Jaya)
- Rio Usmanto (Ketua BPD Margo Lestari)
- Mujiyanto (Ketua BPD Margorejo)
- Sayid (Ketua BPD Sinar Rejeki)
- Ketua BPD Fajar Baru
- Tubagus Maryuni (Ketua BPD Way Huwi)
- Suparyono (Ketua BPD Sidoharjo)
- Sudaryono (Ketua BPD Marga Agung)
- Suparyono (Ketua BPD Sidodadi Asri)
- Subadi (Ketua BPD Margo Rejo)
Akhirnya, seluruh Ketua BPD itu menyatakan satu suara: menolak wacana bergabung dengan Bandarlampung sekaligus mendukung lahirnya Kota Bandar Negara.
Konteks Sejarah DOB Lampung
Untuk memahami semangat ini, kita perlu melihat sejarah pemekaran wilayah di Lampung. Sejak awal 2000-an, beberapa daerah memperjuangkan DOB sebagai solusi pemerataan pembangunan. Sebagai contoh, Lampung Timur, Pesawaran, dan Pesisir Barat berhasil mekar. Oleh karena itu, Jati Agung kini menapaki jalur serupa.
Masyarakat Jati Agung merasa bahwa wilayah mereka memiliki potensi besar dari segi jumlah penduduk, letak strategis, dan pertumbuhan ekonomi. Dengan posisi berbatasan langsung dengan Kota Bandarlampung, Jati Agung kerap dianggap sebagai kawasan penyangga. Namun, warga menilai bahwa status itu tidak cukup memberi manfaat signifikan. Karena itu, mereka ingin mengelola sendiri potensi daerah agar pembangunan berjalan sesuai kebutuhan lokal.
Potensi Jati Agung sebagai Kota Mandiri
Kecamatan Jati Agung menempati posisi strategis di pintu gerbang Kota Bandarlampung. Selain memiliki lahan pertanian yang luas, wilayah ini juga menunjukkan perkembangan permukiman yang pesat. Lebih dari itu, akses transportasi yang terhubung langsung ke pusat kota dan kabupaten lain menambah nilai strategis. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, Jati Agung semakin layak menyandang status kota.
Jika Jati Agung berhasil berdiri sebagai Kota Bandar Negara, masyarakat bisa mengelola tata ruang lebih baik, mengoptimalkan sektor pertanian modern, serta mengembangkan pusat perdagangan dan jasa. Selain itu, status kota juga membuka peluang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Implikasi Politik dan Administratif
Keputusan 21 Ketua BPD menolak masuk ke Bandarlampung membawa implikasi politik signifikan. Pertama, sikap itu mempertegas arah perjuangan masyarakat menuju pembentukan Kota Bandar Negara. Kedua, keputusan itu juga mengirim sinyal kuat kepada pemerintah provinsi dan pusat bahwa aspirasi masyarakat Jati Agung jelas: mereka menginginkan pemekaran mandiri.
Selain faktor politik, dukungan kolektif dari seluruh Ketua BPD juga menciptakan modal sosial penting. Modal itu, pada akhirnya, akan memperkuat legitimasi dalam proses administrasi, mulai dari pengusulan di tingkat kabupaten hingga persetujuan pusat.
Dampak Sosial Ekonomi Pemekaran
Jika pemekaran berhasil terwujud, masyarakat Jati Agung berpeluang menikmati pelayanan publik yang lebih cepat dan merata. Pemerintah kota baru juga dapat membangun infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sekolah, dan fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat.
Selain itu, pemekaran berpotensi menciptakan lapangan kerja baru di sektor pemerintahan, jasa, dan perdagangan. Dengan demikian, identitas wilayah akan semakin kuat, karena masyarakat tidak lagi diposisikan hanya sebagai penyangga Bandarlampung, melainkan sebagai bagian dari kota mandiri.
Harapan Masyarakat Jati Agung
Melalui forum, para Ketua BPD menyampaikan harapan besar agar Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, memberikan perhatian penuh terhadap wacana pemekaran Kota Bandar Negara. Mereka percaya bahwa pemekaran menjadi jalan terbaik untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan memperkuat identitas wilayah.
Masyarakat Jati Agung meyakini bahwa mereka akan memperoleh manfaat lebih besar jika berdiri sebagai daerah otonomi baru. Dengan status kota, mereka bisa merencanakan pembangunan sesuai potensi lokal tanpa bergantung pada kebijakan Bandarlampung.
Pertemuan 21 Ketua BPD se-Kecamatan Jati Agung menghasilkan kesepakatan bulat: menolak masuk wilayah Kota Bandarlampung. Sebaliknya, mereka sepakat memperjuangkan lahirnya Kota Bandar Negara sebagai daerah otonomi baru. Dengan demikian, dukungan kolektif ini membuktikan bahwa aspirasi masyarakat Jati Agung berorientasi pada kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta penguatan identitas wilayah.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan