NU MEDIA JATI AGUNG

🗓️ 19, Agustus 2025   |   ✍️ Wawan Hidayat

Pembebasan Setya Novanto dan Reaksi Publik

JAKARTA, NU MEDIA JATI AGUNG, – Mantan Ketua DPR sekaligus terpidana kasus korupsi, Setya Novanto atau Setnov, akhirnya resmi keluar dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memberinya kebebasan melalui program pembebasan bersyarat (PB). Meskipun demikian, meski langkah tersebut sesuai prosedur hukum, keputusan itu justru langsung memicu kritik keras dari berbagai pihak.

Sejak pemerintah mengumumkan keputusan itu, publik pun bereaksi dengan kekecewaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembebasan bersyarat ini sebagai “kemunduran agenda pemberantasan korupsi.”

Selain ICW, peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, juga menegaskan bahwa keputusan tersebut berpotensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Pembebasan ini memberikan sinyal bahwa koruptor besar bisa mendapatkan perlakuan istimewa meski telah merugikan negara dalam skandal e-KTP senilai triliunan rupiah,” ujar Alvin kepada BBC News Indonesia, Senin (18/08).

Lebih lanjut, Alvin menambahkan bahwa meski Setya Novanto sudah melunasi uang pengganti, dampak sosial atau cost of corruption dari kasus tersebut tetap tidak pernah bisa ditebus.

Kritik terhadap Efek Jera dan Celah Hukum

Menurut Alvin, pembebasan ini justru mengaburkan efek jera. Padahal, prinsip dasar pemberantasan korupsi selalu menekankan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menjelaskan bahwa bebas bersyarat ini muncul sebagai konsekuensi dari putusan peninjauan kembali (PK) yang Setya Novanto ajukan.

Namun, di sisi lain, Alvin menilai PK kerap membuka celah hukum yang memungkinkan individu berpengaruh menghindari pertanggungjawaban penuh. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa perubahan aturan mengenai remisi ikut mempercepat langkah Setnov hingga akhirnya bebas.

Kronologi Kasus Setya Novanto

Pada 24 April 2018, Pengadilan Tipikor menyatakan Setya Novanto bersalah dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun.

Hakim kemudian menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta pencabutan hak politik selama lima tahun. Selain itu, hakim juga mewajibkan Setnov membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta dengan pengurangan Rp5 miliar yang sudah ia titipkan ke penyidik KPK.

Setelah menjalani hukuman, Setnov beberapa kali menerima remisi. Pada Lebaran 2023 dan 2024, pemerintah memberinya pemotongan hukuman masing-masing 30 hari. Kemudian, pada perayaan HUT RI ke-78, ia kembali memperoleh remisi 90 hari.

Tidak berhenti di situ, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK yang ia ajukan pada 4 Juni 2025. Putusan itu pun mengurangi masa hukuman dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

Dengan adanya pengurangan tersebut, Setnov pun memenuhi syarat bebas bersyarat karena ia sudah menjalani dua pertiga masa pidana.

“Kami menghitung dua pertiganya sehingga Setnov mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” kata Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, kepada Antara.

Status Politik dan Masa Wajib Lapor

Meskipun sudah bebas, Setnov tetap belum bisa berpolitik. Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Imipas, Mashudi, menegaskan bahwa ia masih wajib lapor hingga 1 April 2029. Dengan demikian, pemerintah baru memulihkan hak politiknya setelah masa wajib lapor berakhir.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, juga belum memastikan apakah Setnov akan kembali ke partai setelah bebas murni.

“Beliau baru bebas, pasti butuh adaptasi. Masuk pengurus menyita pikiran. Karena itu, biarkan beliau menikmati hidup tanpa beban terlebih dahulu,” kata Sarmuji kepada BBC News Indonesia.

Perubahan Aturan Remisi dan Kontroversi

Menurut Alvin, perubahan aturan pemberian remisi justru semakin memudahkan narapidana korupsi menerima keringanan.

Pada 2021, MA membatalkan Pasal 34A Ayat (1) huruf (a) PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mewajibkan koruptor menjadi justice collaborator untuk mendapat remisi. Setelah pasal itu dihapus, Kemenkumham kemudian menerbitkan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 yang hanya mensyaratkan pembayaran denda dan uang pengganti.

Akibatnya, kebijakan ini, menurut Alvin, memberikan diskresi luas kepada pemerintah sehingga mekanisme pengawasan menjadi lemah.

Deret Koruptor Besar yang Bebas

Kasus Setnov bukan satu-satunya. Bahkan, pada 2022, publik juga terkejut ketika pemerintah membebaskan 23 narapidana korupsi, termasuk Patrialis Akbar, Zumi Zola, Suryadharma Ali, Ratu Atut Chosiyah, dan Pinangki Sirna Malasari.

Masing-masing tokoh itu memperoleh keringanan hukuman hingga mereka keluar lebih cepat. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan persepsi bahwa remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor telah menjadi pola berulang.

Dampak terhadap Pemberantasan Korupsi

Menurut Alvin, kebijakan ini berdampak sangat serius. Secara konkret, moral publik menurun, kepercayaan terhadap hukum melemah, budaya impunitas semakin kuat, dan potensi pembangunan nasional ikut terhambat.

“Kita harus menerapkan peninjauan eksternal agar setiap hukuman menegakkan efek jera dan keadilan bagi rakyat, bukan sekadar prosedur legal yang menguntungkan elite,” tegas Alvin.

Drama dan Kontroversi Seputar Kasus Setya Novanto

Kasus e-KTP yang menyeret Setnov juga penuh drama. Misalnya, pada 2017, publik dikejutkan oleh insiden “tabrak tiang listrik” yang melibatkan mobil Setnov saat KPK menetapkannya sebagai tersangka.

Ombudsman RI kemudian menemukan sel Setnov di Lapas Sukamiskin lebih luas dan memiliki fasilitas berbeda dibanding napi lain. Tidak hanya itu, pada 2019, publik bahkan menangkap gambar Setnov berada di sebuah toko bangunan di Padalarang ketika ia mendapat izin berobat.

Dengan serangkaian insiden tersebut, persepsi publik semakin kuat bahwa penegakan hukum bagi elite politik kerap tidak berjalan setara.