NU Jati Agung

🗓️ Juni 10, 2025   |   ✍️ Redaksi

NU MEDIA JATI AGUNG, – Vaksin Tuberkulosis (TB) M72 yang dikembangkan dengan dukungan dari Gates Foundation menjadi sorotan publik, khususnya terkait aspek urgensi dan kehalalannya. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kasus TB tertinggi di dunia, terpilih sebagai lokasi uji klinis tahap ketiga untuk vaksin ini. Namun, kekhawatiran masyarakat mulai bermunculan, terutama mengenai aspek keamanan dan kehalalan vaksin tersebut.

Berbeda dengan vaksin pendahulunya, BCG, vaksin M72 dirancang khusus untuk digunakan pada remaja dan orang dewasa. Di Indonesia, kelompok usia ini masih tergolong rentan terhadap TB. Karena pengobatan TB kerap menimbulkan ketidakpatuhan akibat durasi terapi yang panjang, vaksin menjadi salah satu solusi preventif yang penting.

Urgensi Penelusuran Kehalalan Vaksin

Pertanyaan besar yang muncul adalah: bagaimana status kehalalan vaksin TB M72? Penelusuran kehalalan mencakup bahan-bahan yang digunakan, proses produksinya, serta titik-titik kritis yang dapat memengaruhi status kehalalan. Pemahaman menyeluruh ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jernih bagi masyarakat.

Dalam dunia farmasi, vaksin tergolong produk biologis karena diperoleh dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Untuk vaksin TB, bahan utamanya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang telah diproses sedemikian rupa agar tidak menyebabkan infeksi. Fungsinya adalah untuk merangsang sistem imun, dengan kekuatan yang jauh lebih lemah dibanding bakteri penyebab penyakit TB.

Agar efektivitasnya meningkat, vaksin ditambahkan zat perangsang sistem imun yang dikenal sebagai adjuvan. Dalam vaksin TB M72, adjuvan yang digunakan adalah Adjuvant System 01 (AS01), yang mengandung liposom. Liposom ini terdiri dari campuran monofosforil lipid A (MPL®), yang diperoleh dari lipopolisakarida bakteri, dan saponin dari kulit pohon Quillaja saponaria (Alving dkk., 2023, Frontiers in Immunology).

Titik Kritis Kehalalan Vaksin Biologis

Sebagai produk biologis, kehalalan vaksin sangat ditentukan oleh media dan bahan bakunya. Meskipun bakteri sendiri dihukumi mubah karena tidak ada dalil syar’i yang mengharamkannya, media pertumbuhan bakteri serta bahan nutrisinya harus diteliti secara saksama. Nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri mirip dengan yang dibutuhkan manusia, yaitu karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Bila seluruh bahan tersebut berasal dari sumber yang suci dan halal, maka bakteri hasil budidaya juga dianggap halal.

Sayangnya, paradigma penggunaan bahan-bahan halal dalam proses pembuatan vaksin belum menjadi perhatian utama produsen, terutama karena industri vaksin banyak berpusat di negara-negara non-Muslim. Kesadaran terhadap pentingnya kehalalan bahan baru muncul ketika terjadi pro dan kontra di masyarakat.

Peluang Indonesia dalam Produksi dan Sertifikasi Halal

Indonesia sebagai produsen vaksin BCG melalui Bio Farma telah membuktikan komitmennya terhadap kehalalan vaksin, yang dibuktikan dengan diperolehnya sertifikasi halal tahun ini. Melalui keterlibatannya dalam uji klinis fase ketiga vaksin TB M72, Indonesia memiliki peluang untuk melakukan transfer teknologi dan berperan lebih aktif dalam memastikan kehalalan vaksin yang akan diproduksi di masa depan.

Akan lebih bijak apabila sejak tahap uji klinis, para ulama dari organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dilibatkan. Tujuannya bukan hanya untuk menilai aspek kehalalan, tetapi juga sebagai bentuk jaminan perlindungan konsumen Muslim atas produk yang akan mereka terima.

Peran Ulama dalam Penilaian Produk Vaksin

Ulama NU telah memiliki sejarah keterlibatan dalam pembahasan kehalalan vaksin. Salah satu diskusi yang menarik terjadi dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung, 1994, mengenai vaksin kontrasepsi berbahan dasar sperma laki-laki. Dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa vaksin seperti itu dibolehkan jika sifat menjijikkan bahan mentahnya telah hilang dan proses pembuatannya sesuai syariat.

Pengalaman serupa terjadi saat penilaian vaksin Covid-19, di mana para ulama turut menilai kehalalan vaksin yang digunakan secara massal. Oleh karena itu, keterlibatan ulama dalam setiap proses uji klinis vaksin—terutama yang melibatkan masyarakat Muslim—merupakan langkah penting dalam menjamin perlindungan konsumen Muslim.

Penutup

Keterlibatan Indonesia dalam uji klinis vaksin TB M72 membuka peluang besar, bukan hanya dari sisi pengembangan teknologi vaksin, tetapi juga dalam memperkuat komitmen terhadap kehalalan produk kesehatan. Pemerintah, ulama, dan para pakar kesehatan seharusnya bersinergi sejak awal untuk memastikan bahwa vaksin yang dikembangkan dan diuji benar-benar aman dan halal bagi seluruh masyarakat.