NU Jati Agung

🗓️ Juni 10, 2025   |   ✍️ Redaksi

NU MEDIA JATI AGUNG, – Wajah kehidupan politik Indonesia saat ini masih didominasi oleh berbagai fenomena negatif. Konflik agraria yang semakin kronis, penyalahgunaan kekuasaan, gaya hidup mewah aktor politik, pembentukan regulasi yang cenderung ‘hanya’ mengakomodasi kepentingan oligarki hingga masih suburnya korupsi yang menjadi simpul dari segala permasalahan. Tanpa menyertakan data konkret, deretan fenomena tersebut merupakan fakta yang tidak bisa kita bantah adanya. Bahkan, anomali tersebut bukan merupakan kasuistik belaka, tetapi terus terulang bahkan mengalami peningkatan.

Kendati tidak semua aparatur pemerintahan menjalankan praktik yang salah, namun berdampak luas terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat terutama kalangan bawah. Jika dilihat dari kacamata filsafat, pangkal dari masalah dalam dunia politik di Indonesia saat ini adalah miskinnya etika dalam praktik penyelenggaraan negara. Kebijakan yang idealnya bertumpu pada tugas suci menciptakan kesejahteraan masyarakat akan beralih pada hasrat memenuhi kepentingan golongan saja. Hal ini karena tergerusnya standar nilai etik dalam menjalankan tugas pemerintahannya.

Artinya, eksistensi etika yang sangat urgen ini harus terus digaungkan. Buah pikir mengenai etika politik mesti dikaji, dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan politik. Salah satu tokoh yang memiliki kepedulian besar terhadap hal ini adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kendati pemikirannya mengenai etika politik dipengaruhi sosio-politik pada saat itu, namun agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Problematika yang terjadi dalam bidang politik masa Gus Dur dengan masa sekarang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Salah satunya tipe-tipe pemimpin pada masa Gus Dur dan sekarang selaras, mengingat penyalahgunaan kekuasaan masih banyak terjadi.

Hal ini dapat ditemukan dengan mudah dalam berita di berbagai platform media sosial. Para pemimpin negeri seolah mengesampingkan dan acuh terhadap kepentingan rakyatnya. Mulai dari minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang sampai bentrok antara aparat dengan warga sipil sebagaimana yang terjadi di Rempang baru-baru ini.

Pemikiran Etika Politik Gus Dur
Etika merupakan bagian dari cabang filsafat. Secara umum, filsafat dibagi menjadi dua kategori yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mempertanyakan segala entitas yang ada seperti apa itu alam, manusia dan lain sebagainya. Sedangkan filsafat praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut.

Etika masuk dalam rumpun filsafat praktis, sehingga etika politik secara umum berbicara soal bagaimana memperoleh kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan yang tentu dilandasi dengan moralitas.

Gus Dur sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit, namun buah pemikirannya mengenai etika politik dapat kita formulasikan menjadi beberapa prinsip:

Pertama, keadilan untuk kesejahteraan bersama.
Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), keadilan merupakan ajaran fundamental yang dibawakan Islam, baik keadilan individual maupun keadilan kolektif. Prinsip keadilan dalam pandangan Gus Dur terinspirasi dari sumber ajaran Islam. Berulang kali Alquran menyerukan an ta’dilu (perintah untuk berlaku adil) dan kunu qawwamina bi al-qisth (menegakkan keadilan).

Keadilan dalam konteks kehidupan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Segala kebijakan harus berorientasi dan berpihak pada rakyat. Dengan spirit humanisme, memperlakukan mereka sebagai manusia, maka keadilan di sini harus ditegakkan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Kedua, prinsip amanah.
Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diberi kebebasan dan tanggung jawab sebagai pemegang otoritas dunia. Seorang pemimpin harus bersikap amanah karena ia sedang mengemban tanggung jawab sebagai wakil Tuhan di bumi sekaligus sebagai wakil rakyat. Dalam konteks penyelenggaraan negara, tidak amanah berarti telah melakukan dosa kemanusiaan.

Ketiga, prinsip lemah lembut dan antikekerasan.
Gus Dur menentang segala bentuk kekerasan dalam politik. Karakter lemah lembut Gus Dur terlihat dari strategi kebijakan yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan, misalnya dalam menghadapi terorisme. Ia memulai penyelesaian dengan menggali akar masalah dan membina pemahaman yang benar melalui dialog antarbudaya dan keagamaan.

Internalisasi Nilai Etika Politik Gus Dur
Proses internalisasi etika politik harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan berperan menyiapkan generasi mendatang yang memiliki bekal intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, Gus Dur menilai pesantren sebagai lahan subur untuk menumbuhkan sikap bermoral.

Pesantren memiliki sistem nilai yang konsisten ditransmisikan baik kepada santri maupun masyarakat. Nilai yang diajarkan adalah Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Output-nya adalah kedamaian, keadilan, dan kemakmuran. Watak dinamis pesantren lahir dari pemikiran fiqhiyah dan moralitas, yang diarahkan pada pencapaian tujuan Islam.

Dengan demikian, fenomena negatif dalam politik Indonesia bisa dijawab dengan menghidupkan kembali etika politik ala Gus Dur. Penghidupan tersebut dapat ditempuh melalui pendidikan, terutama melalui pesantren sebagai institusi nilai keislaman berbasis moral.