NU Jati Agung

🗓️ Juni 10, 2025   |   ✍️ Redaksi

Indonesia saat ini sedang menghadapi tekanan ekonomi serius berupa deindustrialisasi yang sudah berlangsung lama, namun kerap dianggap sebagai tren sementara. Nyatanya, proses ini telah berjalan sejak krisis ekonomi 1998 dan kini berada di ambang kritis.

Ekonom senior dari IFG Progress, Ibrahim Kholilul Rohman, menjelaskan bahwa gejala penurunan sektor industri bukanlah fenomena baru. “Ini bukan fenomena baru, sejak krisis tahun 1998 pertumbuhan sektor manufaktur kita selalu di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum,” ujarnya kepada NU Online, Kamis (9/5/2025).

Menurut data yang dimuat dalam Economic Bulletin IFG Progress, salah satu industri unggulan nasional seperti tekstil dan garmen kini masuk dalam kategori sunset industry, menandakan potensi kemunduran yang kian jelas.

Dari sisi daya saing, Indonesia bahkan tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Vietnam. “Tahun 2005 ekspor elektronik Indonesia masih tiga kali lipat Vietnam. Tapi tahun 2015 kita sudah kalah tinggal setengahnya, produk kita tidak lagi kompetitif,” ungkap Ibrahim.

Fenomena ini terlihat dari penurunan kapasitas produksi nasional, meningkatnya arus barang impor, hingga terjadinya PHK besar-besaran yang telah menimpa lebih dari 250 ribu pekerja sejak akhir 2022.

“Kalau banyak PHK, artinya satu orang pekerja akan menanggung banyak orang yang tidak bekerja. Dependency ratio-nya meningkat dan ini bisa menghambat keberlanjutan ekonomi kita,” tambahnya.

Ibrahim turut memperingatkan bahwa bonus demografi yang sedang dihadapi Indonesia berpotensi menjadi risiko sosial besar jika tidak dikelola dengan baik. “Kalau waktu muda tidak produktif karena tak ada pekerjaan maka di masa tua mereka tidak akan punya jaminan kesehatan dan dana pensiun. Ini bom waktu sosial,” jelasnya. Ia saat ini juga menjabat sebagai Pengurus Badan Pengembangan Inovasi Strategis PBNU.

IFG Progress mencatat bahwa kemunduran produktivitas di industri tekstil tak hanya disebabkan oleh gejolak global, tetapi juga oleh struktur produksi yang tidak efisien, minimnya teknologi mutakhir, serta rendahnya investasi dalam research & development. Sejak 2015, diketahui bahwa lebih dari 80 persen mesin di sektor ini tergolong kuno.

Ibrahim menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi sistem pendidikan, terutama pada jenjang vokasi dan penguatan literasi digital. “Pendidikan kejuruan harus ditingkatkan kualitasnya agar lulusannya terserap langsung di industri, kemudian yang tidak kalah penting investasi di pendidikan STEM (sains, teknologi, teknik, matematika) sejak dini,” ucapnya.

Selain itu, ia juga menyoroti ancaman dari perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan otomasi, yang bisa menggantikan banyak pekerjaan manusia.

“Kita harus punya roadmap keterampilan digital. Kalau tidak, yang akan digantikan AI bukan cuma buruh pabrik tapi juga lulusan perguruan tinggi,” kata dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI tersebut.

Lebih lanjut, Ibrahim menegaskan bahwa keberadaan regulasi yang rumit dan gangguan dari organisasi masyarakat menjadi faktor penghambat masuknya investasi asing.

“Kalau pemerintah tak menertibkan hambatan-hambatan seperti regulasi berbelit atau ormas yang mengganggu, maka investor tidak akan masuk. Padahal kita butuh foreign direct investment untuk menghidupkan industri kembali,” tuturnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa sektor tekstil mempekerjakan hampir empat juta orang atau sekitar 20 persen dari total tenaga kerja manufaktur nasional. Namun jumlah ini dapat terus menurun jika tidak ada upaya strategis dari pemerintah.

“Deindustrialisasi bukan hanya soal hilangnya pabrik. Ini tentang hilangnya masa depan generasi pekerja,” pungkas Ibrahim.