
Profil Singkat Mama Cibogo
NU MEDIA JATI AGUNG, – KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo lahir di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Ia dikenal sebagai ulama ahli falak dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Kampung Cibogo. Pada masa perjuangan, para pejuang pernah menggunakan pesantren itu untuk latihan Laskar Hizbullah.
Sejarah mencatat bahwa Mama Cibogo tidak hanya fokus mengajar, tetapi juga menulis dan memproduksi kitab. Ia bahkan menjual kecap serta jamu untuk membiayai pesantrennya.
Karya-Karya dan Keilmuan
Kitab yang Ditulis
Mama Cibogo rajin menukil kitab. Ia berhasil menulis 63 kitab dengan aksara Arab berbahasa Sunda. Beberapa karyanya antara lain:
Hikayat al-Mutaqaddimin
Kasyf al-Humum wal Ghumum
Majmu’at Da’wat
Risalah Zakat
Syair Qiyamat
Risalah Syurb ad-Dukhan
Ahli dalam Ilmu Falak
Para ulama mengakui keahlian Mama Cibogo dalam ilmu falak. Santri dan masyarakat kemudian menjuluki pesantrennya sebagai Pesantren Falak. Dari pesantren itu, ia menerbitkan almanak atau kalender yang beredar di Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Masyarakat pun menjadikan Mama Cibogo sebagai rujukan utama ketika menentukan awal puasa, lebaran, atau waktu bercocok tanam.
Jaringan Keilmuan dan Perjuangan
Hubungan dengan Ulama Besar
Setelah perang kemerdekaan berakhir, Mama Cibogo kembali membangun pesantrennya. Ia juga memperluas jejaring dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Para ulama tersebut memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan kepada masyarakat.
Mama Cibogo juga menjalin kedekatan dengan para jawara Betawi. Abah Ghozali Guntung dari Banten tercatat sebagai salah satu muridnya.
Pendidikan dan Perjalanan Ilmu
Mama Cibogo lahir pada Kamis, Jumadil Akhir 1330 H atau tahun 1912 M. Ia merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati sekaligus keturunan ke-24 dari Rasulullah. Sejak kecil, ia belajar agama dari ayahnya, KH Raden Anwar, sebelum melanjutkan pendidikan ke Sekolah Rakyat Hindia Belanda.
Pada usia 15 tahun, ia menimba ilmu di Pesantren Plered Purwakarta, berguru pada KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Mekkah dan belajar pada ulama besar seperti Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri.
Sekembalinya dari Mekkah, Mama Cibogo belajar ke beberapa pesantren di Jawa, termasuk Pesantren Tebuireng Jombang, langsung kepada KH Hasyim Asy’ari. Keilmuannya diakui, bahkan KH Hasyim Asy’ari menyembelih seekor sapi sebagai bentuk rasa syukur memiliki murid secerdas KH Raden Ma’mun Nawawi.
Pendirian Pesantren dan Aktivitas Keagamaan
Setelah menikahi putri Mama Sempur, ia sempat mendirikan pesantren di Pandeglang. Namun, masyarakat kemudian memintanya kembali ke Cibogo. Pada 1938, ia mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo. Pada Februari 1945, para pejuang Hizbullah menjadikan pesantren itu sebagai tempat latihan.
Santri dari berbagai daerah, termasuk Pandeglang dan Banten, kemudian hijrah untuk belajar ke pesantren tersebut. Mama Cibogo mengajar santri setiap hari sekaligus membuka pengajian rutin:
Selasa pagi untuk ustadz dan kiai kampung
Rabu untuk orang lanjut usia
Jumat pagi untuk kaum ibu
Ahad untuk umum
Selain mengajar, ia juga aktif berwirausaha untuk menghidupi pesantrennya.
Wafat dan Warisan
Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, tepat pada 26 Muharram 1395 H atau 7 Februari 1975. Ia meninggalkan 40 anak dan empat istri. Jenazahnya disalatkan langsung oleh KH Noer Ali Bekasi.
Kini, masyarakat Bekasi mengenang Mama Cibogo sebagai salah satu tokoh penting. Di wilayah Bekasi, dikenal dua figur ulama besar: KH Noer Ali di sebelah utara dan Mama Cibogo di sebelah selatan.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh