
Sosok Kiai Hisyam Abdul Karim
NU MEDIA JATI AGUNG, – “Kiai Hisyam, pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima kedatanganku di pendapa rumahnya. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan sinar matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50 tahun. Dengan mengenakan peci tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi oleh jenggotnya yang tak begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang lucu, tetapi menyenangkan.”
Begitulah gambaran KH Hisyam Abdul Karim, seorang ulama terpandang dari Purbalingga, Jawa Tengah. Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, ia juga ikut berjuang melawan penjajah, sebagaimana dituturkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974).
Masa Muda dan Pendidikan
KH Hisyam lahir pada 8 Agustus 1909. Ayahnya bernama Abdul Kariem, Bau Desa Kalijaran sekaligus Guru Rodad. Nama kecil beliau adalah Qosim. Pendidikan formal KH Hisyam hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, namun ia rajin menimba ilmu agama dari para ustaz di kampungnya.
Ia berguru kepada Kiai Dahlan di Desa Kaliwangi Mrébét, kemudian ke Pondok Leler Banyumas bersama Kiai Zuhdi, dan di Pondok Jampes Kediri kepada Kiai Dahlan. Dalam bidang qiroatul Qur’an, beliau belajar kepada Kiai Yusuf Buntet Cirebon dan Kiai Nuh Pager Aji Cilongok. Sedangkan dalam thariqah, ia menimba ilmu dari Kiai Rifa’i Sokaraja.
Mendirikan Pesantren Sukawarah
Pada tahun 1927, KH Hisyam menikahi Rumiyah, putri Carik Desa Kalijaran. Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren, ia mendapat restu gurunya, Syekh Dahlan Ihsan, untuk mendirikan Pondok Pesantren Sukawarah di Pedukuhan Sokawera, Desa Kalijaran, Karanganyar, Purbalingga.
Pesantren sebagai Basis Perjuangan
Pesantren Sukawarah menjadi pusat pendidikan sekaligus pengaderan pejuang di masa perang kemerdekaan. Para santri tidak hanya belajar agama, tetapi juga latihan baris-berbaris, huruf morse, dan pertolongan pertama. Latihan ini dibimbing oleh kader pemuda Ansor setempat.
KH Saifuddin Zuhri mengisahkan dalam bukunya:
“Suatu hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran Purbalingga. Sebuah pesantren dengan lebih kurang 700 santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di pegunungan, jauh dari kota. Tak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren itu, bersepeda pun amat susahnya, karena harus menyeberangi sungai yang deras airnya, penuh dengan batu kali pada tebing-tebingnya. Aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 km dari kota distrik Bobotsari, tempat pemberhentian bis terakhir.”
Perkembangan Pesantren Kalijaran
Sekitar tahun 1969, di lingkungan Pondok Kalijaran berdiri MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri). Waktu itu, sekolah ini menjadi lembaga pendidikan yang cukup berwibawa. Di Jawa Tengah, hanya ada dua madrasah negeri, yakni di Babakan Tegal dan Karanganyar Purbalingga. Pesantren kemudian diasuh oleh KH Muzammil dan KH Musta’id Billah dengan jumlah santri mencapai ribuan.
Kiprah di Organisasi NU
Selain mengasuh pesantren, KH Hisyam aktif di Nahdlatul Ulama. Ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU Purbalingga selama tiga periode: 1973–1975, 1975–1978, dan 1978–1983. Perannya menguatkan NU di Purbalingga sekaligus menjadi panutan umat.
Wafatnya KH Hisyam Abdul Karim
KH Hisyam wafat pada Kamis Kliwon, 4 Jumadil Akhir 1410 H, bertepatan dengan 12 Januari 1989. Kepergiannya meninggalkan jejak besar sebagai ulama, pendidik, dan pejuang yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan sekaligus pendidikan Islam di Purbalingga.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh