NU MEDIA JATI AGUNG

MWCNU JATI AGUNG
NU MEDIA JATI AGUNG
Edisi
Advetorial
Opini
Donasi
🗓️ 31, Agustus 2025   |   ✍️ Ahmad Royani, S.H.I

Kehidupan Awal dan Sapaan ‘Gus’

NU MEDIA JATI AGUNG, – Dalam tradisi pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), putra kiai biasanya dipanggil dengan sapaan ‘gus’. Tradisi ini lazim di pesantren Jawa Timur, sementara di Sunda dikenal sapaan ‘ajengan’ dan di Madura ‘lora’. Sapaan itu menjadi bentuk penghormatan dan takzim kepada anak kiai.

Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi KH Noer Muhammad Iskandar (Kiai Noer) asal Banyuwangi. Sejak kecil ia enggan disapa ‘gus’. Keputusan ini lahir dari aturan KH Askandar, ayah Kiai Noer, yang melarang putra-putranya menggunakan sapaan tersebut.

KH Askandar yang dikenal sebagai ulama terpandang dengan banyak santri menerapkan larangan itu sebagai tindakan preventif. Ia khawatir anak-anaknya terjebak dalam tradisi “feodalisme pesantren” dan berbangga diri hanya karena status nasab. Menurutnya, kehormatan seharusnya datang dari ilmu dan akhlak, bukan sekadar garis keturunan.

Pendidikan dan Kehidupan Pesantren

KH Askandar memperlakukan Kiai Noer sama dengan santri lain. Ia ikut piket membersihkan halaman pesantren, tidur di masjid dengan alas sederhana, dan tetap mendapat hukuman ketika melanggar peraturan. Bahkan, hukuman yang diterimanya lebih tegas dibanding santri lain. Bentuk hukuman yang diterapkan adalah pukulan ringan di telapak tangan atau bagian belakang tubuh, tanpa mencederai.

Sikap disiplin sang ayah membuat Kiai Noer terbiasa hidup sederhana. Ia belajar untuk tidak mengandalkan status sebagai anak kiai. Namun, di luar pesantren, masyarakat tetap merasa tidak enak jika tidak memanggilnya dengan sapaan ‘gus’. Dari sinilah bakat kepemimpinannya mulai muncul.

Jiwa Pemimpin yang Terbentuk

Kiai Noer kecil memanfaatkan sapaan hormat itu untuk memobilisasi anak-anak sebayanya, baik di pesantren maupun di luar. Ia meminta bantuan mereka, misalnya untuk menjaga kambing. Sikap ini menunjukkan kecerdikan sekaligus jiwa kepemimpinannya sejak dini.

Ali Mudhofir Thoni, salah seorang santri senior yang mengenalnya, mengenang bagaimana ia harus menggendong, memboncengkan dengan sepeda, hingga menemani Kiai Noer kecil bermain dan mengangon kambing. Menurut Ali, Kiai Noer selalu berhasil meyakinkan orang lain dengan tutur katanya yang memuaskan.

Aktivitas Organisasi Sejak Kecil

Pada usia sekolah dasar, Kiai Noer sudah berani membentuk kelompok besar. Ia mendirikan grup drum band dengan lebih dari 300 anggota anak-anak. Ia sendiri bertindak sebagai mayoret. Grup ini rutin tampil, terutama saat bulan Ramadhan untuk membangunkan sahur.

Awalnya, banyak anak ikut karena sungkan menolak ajakan putra kiai. Namun, lama-kelamaan mereka bergabung karena suka. Grup drum band itu terinspirasi dari pemuda Ansor yang tampil gagah berani melawan PKI di Banyuwangi, termasuk di daerah Muncar tempat Kiai Noer tinggal.

Selain drum band, ia juga mendirikan kesebelasan sepak bola bersama saudara-saudaranya: Noer Hadi, Noer Hamid, dan Noer Chozin. Tim mereka sering berhadapan dengan anak-anak PKI yang kerap membuat keributan di pesantren.

Sebagai ketua, Kiai Noer selalu menjadi yang pertama mendapat hukuman ketika timnya berbuat salah. Misalnya, ketika tim sepak bola tidak mengaji sehari penuh, ia dihukum lebih dulu.

Perjalanan Hidup dan Warisan Pesantren

Kiai Noer tumbuh dengan karakter pemimpin yang kuat. Pengalaman masa kecilnya membentuk pribadi yang disiplin, sederhana, dan berwibawa.

Pada Ahad, 13 Desember 2020/28 Rabi’ul Akhir 1442 H, pukul 13.41 WIB, Kiai Noer wafat di Rumah Sakit Siloam Hospitalis, Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada usia 65 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, pesantren yang ia dirikan.

Hingga akhir hayat, Kiai Noer meninggalkan warisan besar berupa sebelas pesantren Asshiddiqiyah yang tersebar di berbagai daerah:

  • Asshiddiqiyah Pusat di Kebon Jeruk, Jakarta Barat

  • Asshiddiqiyah 2 Batuceper, Tangerang, Banten

  • Asshiddiqiyah 3 Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat

  • Asshiddiqiyah 4 Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat

  • Asshiddiqiyah 5 Jonggol, Bogor, Jawa Barat

  • Asshiddiqiyah 6 Setu Kota, Tangerang Selatan, Banten

  • Asshiddiqiyah 7 Cijeruk, Bogor, Jawa Barat

  • Asshiddiqiyah 8 Tungkal Jaya, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan

  • Asshiddiqiyah 9 Gunung Sugih, Lampung Tengah

  • Asshiddiqiyah 10 Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat

  • Asshiddiqiyah 11 Gunung Labuhan, Waykanan, Lampung

Warisan itu menjadi bukti nyata perjuangan Kiai Noer dalam mendidik umat. Ia tidak hanya membangun pesantren, tetapi juga membentuk generasi penerus yang berilmu dan berakhlak.