
Perjalanan Pendidikan KH Ali Maksum
NU MEDIA JATI AGUNG, – KH Ali Maksum menjadi ulama besar dengan penguasaan keilmuan yang luas. Ia memulai perjalanan studinya di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, di bawah bimbingan ayahnya KH Maksum Ahmad. Setelah itu, ia melanjutkan pengembaraan intelektual dengan berguru kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
Ia terus menimba ilmu dengan belajar kepada KH Den Rahmad, KH Amir, dan KH Dahlan di Pekalongan. Ia juga menimba ilmu dari KH Syaban al-Falaki di Semarang. Perjalanan panjang itu memperlihatkan tekadnya dalam menggali keilmuan agama.
Pernikahan dan Perjalanan ke Haramain
Setelah menikah dengan Nyai Hasyimah, putri KH Munawwir Krapyak, Kiai Ali tetap melanjutkan pencarian ilmu. Ia berangkat ke Haramain untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan agama. Di sana, ia belajar kepada Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki dan Syekh Umar Hamdan.
Santri Mengenang Kealiman KH Ali Maksum
Salah satu santri, KH Said Aqil Siroj, menyebut gurunya sebagai ulama yang allamah, sangat alim. Dalam satu kesempatan, Kiai Said menjelaskan cara mendidik gurunya.
“Kiai Ali Maksum mengajari santrinya agar berani komentar, berani ngeritik, berani. Tapi dengan syarat kitanya mampu, terukurlah, terukur. Ada kemampuan untuk mengkritik, ayo kritik. Ada kemampuan melakukan perbandingan, melakukan komparasi, silakan kamu lakukan. Itu Kiai Ali cara mendidiknya,” terang Kiai Said dalam galawicara Peci dan Kopi episode Yang Tak Banyak Diketahui tentang Kiai Said pada 30 April 2020.
Kiprah di Dunia Akademik dan Karya Tulis
KH Ali Maksum tidak hanya mengasuh pesantren dan mengabdi di Nahdlatul Ulama. Ia juga mengajar ilmu tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Ia menyusun kitab Hujjatu Ahlissunnah wal Jamaah yang berisi argumentasi atas praktik ibadah Ahlussunnah wal Jamaah. Ia juga menghimpun banyak catatan dan teks pidato yang kemudian ia satukan dalam buku berjudul Ajakan Suci.
Sikap Tawadhu dalam Kepemimpinan NU
Meski sangat alim, Kiai Ali tetap menampilkan sikap tawadhu. Ia menolak pencalonan sebagai Rais Aam PBNU pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta, 28 Agustus–2 September 1981.
H Abdul Basit Adnan dalam bukunya Kemelut di NU antara Kyai dan Politisi mencatat bahwa Kiai Ali menyampaikan penolakan itu secara verbal dan tertulis kepada peserta munas. Namun, para kiai tetap memilihnya sebagai Rais Aam. KH Idham Chalid pun menyampaikan keputusan itu kepada Kiai Ali.
Akhirnya, Kiai Ali menerima amanah tersebut dengan alasan ia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan para ulama.
“Memang, kepercayaan seluruh Alim Ulama tidak boleh disia-siakan,” kata KH Ali Maksum sebagaimana dikutip H Abdul Basit Adnan.
Kehidupan Sehari-hari dan Hubungan dengan Santri
Ketawadhuan Kiai Ali tidak hanya terlihat dari sikapnya dalam kepemimpinan, tetapi juga dalam kesehariannya. Beliau dikenal akrab dengan santri-santrinya dan hafal nama serta asal mereka.
Beliau bahkan mengirimkan surat pribadi kepada santri yang melanjutkan studi di Baghdad, Ihsanuddin. Surat bertanggal 14 Maret 1983 itu kemudian diunggah putri santri tersebut, Arinal Husna, pada 20 Januari 2017. Dalam surat itu, Kiai Ali menyapanya dengan penuh kasih sayang dan bercerita tentang perkembangan Pesantren Krapyak serta kondisi keluarga.
Penolakan dan Penerimaan Pesantren Krapyak
KH Ali juga pernah menolak permintaan untuk mengasuh Pesantren Krapyak pasca wafatnya KH Munawwir. Beliau merasa putra-putra mertuanya lebih berhak. Namun, setelah Nyai Sukis—ibu mertuanya—meminta langsung, Kiai Ali akhirnya menerima amanah tersebut.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh