
Guru Marzuki, Mahaguru Ulama Betawi
NU MEDIA JATI AGUNG, – Guru Marzuki Cipinang Muara dikenal sebagai salah satu ulama besar Betawi yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam. KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani, yang bergelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki (1877–1934 M), mendapat sebutan “mahaguru ulama Betawi”.
Sebutan ini tidak lepas dari statusnya sebagai “Guru”, yakni level tertinggi dalam tradisi keulamaan Betawi setelah Mu’allim dan Ustadz. Dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), istilah “Guru” diposisikan setara dengan Syaikhul Masyayikh, seorang yang representatif dalam mengeluarkan fatwa agama di bidang keilmuan tertentu.
Enam Pendekar Ulama Betawi
Peneliti Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi (2002) menyebut enam tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 sebagai “the six teacher” atau enam pendekar. Mereka adalah Guru Mansur (Jembatan Lima), Guru Marzuki (Cipinang Muara), Guru Mughni (Kuningan), Guru Madjid (Pekojan), Guru Khalid (Gondangdia), dan Guru Mahmud Ramli (Menteng).
Garis Keturunan dan Pendidikan
Guru Marzuki berasal dari keluarga bangsawan Melayu Pattani melalui ayahnya, Sultan Laqsana Malayang. Dari garis ibunya, Hajjah Fatimah binti Syihabuddin bin Magrabi al-Maduri, beliau memiliki nasab hingga Maulana Ishaq dari Gresik, Jawa Timur.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Pada usia 16 tahun, orang tua menyerahkan Guru Marzuki kepada ulama keturunan Arab, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Tahun 1907/1908, ia berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan kembali ke Jakarta pada 1913/1914.
Di Mekkah, ia belajar kepada ulama besar seperti Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh Mahfuz al-Termasi, Syekh Salih Bafadhal, Syekh Umar Syatha, hingga Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga memperoleh ijazah tasawuf Tarekat Alawiyyah dari Syekh Umar Syatha serta ijazah Tarekat Khalwatiyah dari Syekh Usman al-Dimyati.
Dakwah dan Kiprah Pendidikan
Sepulang dari Mekkah, Sayyid Usman meminta Guru Marzuki untuk mengajar di Masjid Jami’ al-Anwar Rawa Bangke, Jatinegara. Namun, ketika kondisi moral masyarakat di sekitar masjid semakin memburuk, Guru Marzuki memutuskan pindah ke Kampung Muara pada 1921/1922. Di tempat baru itu, ia membangun Masjid al-Marzuqiyah sekaligus mendirikan lembaga pendidikan yang menjadi pusat dakwah dan penulisan kitab.
Seiring waktu, murid-murid dari berbagai wilayah Jakarta berdatangan untuk menimba ilmu. Peneliti Iswanto mencatat bahwa tidak kurang dari 70 muridnya kelak tumbuh menjadi ulama besar. Beberapa di antaranya ialah KH Noer Ali dari Bekasi, KH Muhammad Tambih Kranji dari Bekasi, KH Abdullah Syafi’i dari Matraman, KH Tohir Rohili dari Bukit Duri, KH Hasbiallah dari Klender, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Karena banyak ulama lahir dari bimbingannya, masyarakat pun menjuluki Guru Marzuki sebagai “guru para ulama Betawi”.
Peran dalam Nahdlatul Ulama
Selain mengajar, Guru Marzuki juga aktif mendukung gerakan kebangsaan. Ia menjadi salah satu ulama generasi pertama Betawi yang menegakkan Nahdlatul Ulama (NU) di Batavia pada 1928. Bahkan, ia memimpin sebagai Rais Syuriah hingga akhir hayat.
Sebagai tambahan, hubungan Guru Marzuki dengan NU semakin erat ketika cucunya, KH Umairah Baqir, menikah dengan adik kandung KH Idham Chalid, salah satu tokoh besar NU.
Berita Terpopuler
- Wagub Lampung Jihan Nurlela Tinjau Pasar Murah Muslimat NU di Natar
- PPRQ Metro Gelar Harlah ke-24 Teguhkan Komitmen Santri
- Curanmor Teror Jati Agung: Enam Motor Hilang, CCTV Tak Efektif
- Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
- KH Bisri Syansuri (3-Habis): Bahtsul Masail Sampai Tua, Kewafatan, dan Kesaksian Tokoh